Oleh Sidik Ismanto
Sejumlah pengamat politik dan ekonomi tidak menduga, bahwa dolar kian perkasa justru setelah dicabutnya Embargo ekonomi oleh Amerika sekitar dua bulan yang lalu. Minggu ini dolar mencapai level tertinggi 28 Pond (Junaih-Arab red) Sudan. Padahal sehari setelah diumumkannya pencabutan oleh Donal Trump, dolar sempat melemah sampai ketitik 15.
Tapi siapapun tahu, bahwa itu hanya sentiment pasar, dan tidak real akibat menguatnya perekonomian Sudan. Lalu bagaimana memahami kondisi ekonomi Sudan, mari kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan melemahnya nilai tukar Pond Sudan terhadap mata uang asing.
Tahun 2010 akhir, saya tiba di Sudan, Saat itu Pond Sudan sangat kuat, untuk 1 dolar setara dengan 2.8 Pond. Saya tidak menduga, Negara yang secara poititik dan ekonomi masih belum stabil, mata uangnya mempunyai nilai tukar yang bagus. Ternyata setelah mendengar cerita dari teman, 80% sumber devisa Negaranya bergantung dari minyak (sistem ekonomi yang menggantung dari sektor migas seperti ini masih dilakukan oleh sejumlah Negara Timteng. termasuk Saudi dll. Meski sekarang ada desakan untuk mengelola potensi-potensi yang lain).
Sejumlah pengamat menilai bahwa, kehilangan lokasi pengeboran minyak di Sudan Selatan bukanlah satu-satunya yang membuat ekonomi Sudan memburuk, tapi karena tidak adanya produksi komoditi yang bisa dijual ke pasar Internasional, ditambah dengan buruknya sistem perekonomian Negara dan banyaknya cadangan devisa yang terpakai untuk perang melawan gerakan sparatis dan menangani konflik-konflik yang muncul di beberapa wilayah.
Andai tidak membaca sejarah, sebagian besar orang tentu tidak percaya, bahwa 1 Pond sudan pernah setara dengan 3 dolar Amerika, nilai ini bertahan sampai datangnya kudeta yang dilakukan oleh Ja’far An-Numairi (Mei 1969) bahkan saat itu tidak ditemukan pasar gelap yang melakukan transaksi penukaran mata uang secara ilegal.
Namun Pond Sudan mulai melemah pada tahun 70an, ketika masa pemerintahan masih dipegang oleh Ja’far An-Numairi. Dan pada permulaan tahun 80an Pond setara dengan 2 dolar, kemudian terus merangkak turun sampai 2.5 untuk 1 dolar Amerika pada era pemerintahan Multi Partai.
Nilai tukar kembali anjlok pada era Pemerintahan Basyir, setalah ia melakukan kudeta Militer Juni tahun 1989, dimana dolar langsung menguat sampai level 12 pond. Diawal-awal tahun Pemerintahan, Basyir mengeluarkan kebijakan redenominasi mata uang Pond dengan membuang tiga nol dibelakang angka pertama, contoh 1 Junaih asalnya adalah 1000 Junaih (bagi yang tinggal di Sudan, kadang masih mendengar penduduk setempat menyebut 1 pond dengan Alfu atau seribu). Tentu saja menghilangkan 3 nol tidak sama dengan menghilangkan kemiskinan dan mengangkat kekuatan ekonomi Sudan, karena itu hanya seperti kamlufase saja.
Setelah kebijakan redenominasi, Basyir juga berhasil melakukan negoisasi damai dengan beberapa wilayah konflik, dan mulai melakukan pengeboran minyak di wilayah tersebut. Hal ini membuat Pond Sudan stabil dikisaran 2.5 dalam kurun waktu yang lama.
Namun petaka mulai muncul ketika Wilayah konflik di bagian Sudan selatan yang berpenduduk mayoritas nonMuslim menuntut Refrendum. kawasan ini sebenarnya sudah ditangani oleh PBB dengan nama misi UNMIS (United Nation Mission in South Sudan). Padahal sebagian besar pengeboran minyak bumi ada disana, termasuk pengeboran yang dilakukan oleh kontraktor asal Malaysia, PETRONAS.
Namun apa mau dikata, segala bentuk negoisasi tidak mempan, mayoritas masyarakat Sudan selatan tetap memilih untuk memisahkan diri pada 9 Januari tahun 2011. Sekaligus mengawali cobaan ekonomi terberat bagi Sudan (utara) maupun untuk Sudan Selatan yang belum sepenuhnya stabil dengan kondisi politiknya (sampai sekarang Negara yang kaya dengan Migas ini masih dirundung konflik berdarah yang mengarah pada genosida akibat rebutan kekuasaan).
Sejak saat itu, nilai tukar Pond terus melemah, dan dolar semakin perkasa dari hari ke hari, enam bulan pasca pisahnya Sudan Selatan Pond langsung anjlok dilevel 6, dan sampai ke angka 9 tahun 2014, menyentuh 12 tahun berikutnya, dan 17 tahun 2016. Hingga hari ini dolar Amerika menyentuh level tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni 28 akhir 2017 sampai awal 2018.
Penyebab Anjloknya Nilai tukar Pond Sudan.
Tentu kita bertanya-tanya, kenapa setelah diangkatnya Embargo ekonomi oleh Amerika, Pond justru semakin melemah. Karena pada dasarnya Negara sudan sendiri belum siap dan tidak punya simpanan mata uang asing untuk mengelola perekonomiannya, sehingga Bank Sentral Sudan tidak mampu mengontrol nilai tukar Pond terhadap dolar.
Sejumlah pengamat mengutarakan, nilai tukar Pond sudah bergantung pada kekuatan ekonominya. Meski sangsi ekonomi telah dicabut, tidak serta merta ekonomi sudan akan segera membaik dan mampu mendongkrak nilai tukar Pond Sudan terhadap mata uang asing.
Jika demikian, kita perlu melihat kondisi ekonomi Sudan secara makro agar dapat memahami kenapa Pond Sudan kian melemah. Menurut artikel yang saya baca dari HuftPos Arabi Penyebab krisis ekonomi yang melanda Sudan, diantaranya adalah:
- Tidak seimbangnya antara pemasukan mata uang asing (dolar) dengan kebutuhan para pelaku bisnis. Terutama setelah Sudan kehilangan ladang minyaknya di Sudan selatan, praktis pemasukan dolar untuk devisa Negara dari hasil ekspor menurun drastis. Akibatnya Kita bisa rasakan langsung dengan diberlakukannya kenaikan pajak dan pembayaran jasa disetiap sektor, termasuk pendidikan. naiknya biaya pengambilan ijasah, legalisir dan pengurusan ijin tinggal.
- Tidak adanya kawasan industri dan sentra pertanian yang digarap secara serius oleh pemerintah, padahal Sudan mempunyai tanah layak tanam yang begitu luas. Selain itu, para petani dikenai wajib pajak dan iuran Negara yang tinggi, pada akhirnya membuat mereka sulit mengembangkan bisnis pertaniannya. Padahal sektor pertanian dapat dijadikan tumpuan ekonomi Sudan jangka panjang yang potensial, sayangnya mereka kurang memberikan perhatian lebih pada sektor ini. Contohnya adalah, belum digarapnya proyek pertanian terbesar se-Afrika yang ada di wilayah Jazirah secara serius. Namun lebih memilih proyek yang belum jelas dampaknya secara nyata bagi peningkatan ekonomi rakyat, yaitu mega proyek bendungan Moroe yang dikatakan sebagai “akhir kemiskinan di Sudan”. Sebenarnya proyek ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional, tapi seperti yang kita rasakan, pemadaman bergilir masih sering terjadi, terlebih saat musim panas tiba.
- Terlalu bergantung dengan pinjaman modal dari Negara-negara sahabat untuk menggerakkan ekonominya, daripada berusaha mengelola secara serius potensi Negara di sektor pertanian, khususnya proyek pertanian jazirah yang sampai sekarang masih terbengkalai. Selain itu tidak adanya bantuan akses kemudahan dan bantuan dana bagi usaha kecil menengah (UKM).
- banyaknya Warga Negara Sudan yang memilih menyimpan uangnya di Luar Negeri akbibat tidak adanya kepercayaan pada Pemerintahan sekarang. Meskipun Sudan sendiri telah berulang kali melakukan upaya penarikan namun tetap saja belum berhasil.
Untuk mengatasi hal tersebut, tentu tidak mudah, namun usaha menuju perbaikan tetap harus dilakukan. Langkah-langkah yang dapat ditempuh salah satunya adalah sebagai berikut; menghentikan peperangan dengan para pemberontak, dan memilih negoisasi menuju ke arah perdamaian. Sampai saat ini PBB masih melaksanakan misinya di wilayah Darfur-Sudan dengan nama misi UNAMID (United Nation Mission in Darfur). Perang inilah yang salah satunya menghabiskan banyak uang. Dana yang yang dikeluarkan untuk perang seharusnya bisa dialokasikan untuk memperkuat sektor perekonomian.
Tidak lupa pula, perlu adanya pembenahan pada sistem perpolitikan Sudan dalam hal rekrutmen, agar para pemangku jabatan sesuai dengan bidangnya. Serta mulai memperbaki citra dan berkomitmen untuk menjadi Negara Islam yang moderat dan inklusif. Karena hingga saat ini Amerika masih menuduh Sudan sebagai Negara pendukung Terorisme.
Sebagai Negara yang dilalui dua aliran sungai Nil, seharusnya potensi ini dapat dikelola menjadi objek wisata yang menarik.
Namun ikon Negeri dua Nil ini ternyata belum dikenal luas oleh dunia internasional. Maka tugas pemerintah adalah melakukan promosi intens untuk menarik jumlah wisatawan, serta memberikan kemudahan akses untuk mendapatkan visa.
Yang tidak kalah penting adalah mempromosikan sektor pendidikan Islam, karena siapa sangka Sudan yang dicitrakan Negara miskin ini ternyata mampu memberi banyak beasiswa bagi warga Negara asing. Terlebih Sudan sampai detik ini dipandang sebagai tempat belajar bahasa arab paling ideal, karena kemurnian bahasa masyarakatnya masih terjaga dengan baik.
Jika momentum pencabutan Embargo ini diikuti dengan kebikakan politik yang tepat, juga perbaikan birokrasi dan etos kerja, bukan tidak mungkin 20 tahun lagi Sudan berubah menjadi Negara yang makmur, semoga.
penulis adalah mahasiswa pascasarjana yang menjabat sebagai musytasyar PCINU Sudan.
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)