“Sampaikanlah meskipun dengan satu ayat”— (Hadis)
Sabda Rasulullah di atas barangkali menjadi nafas setiap individu muslim dalam memaknai perintah berdakwah; mengajak pada kebaikan. Secara jelas, apa yang disampaikan Nabi Muhammad SAW ini merupakan sebuah kewajiban bagi setiap pengikutnya. Penyebutan “meskipun dengan satu ayat” menunjukkan bahwa nabi menginginkan setiap muslim, meskipun dengan keterbatasan ilmu pengetahuan agama, untuk turut berkontribusi dalam medan dakwah Islam.
Variasi dakwah berdasarkan sejarahnya telah berkembang melalui tata cara yang sangat beragam dan adaptif terhadap zaman dan target dakwahnya. Sebagai contoh pada masa awal Islam hadir di tengah jazirah Arab, dakwah lebih banyak menggunakan kajian dan ajakan tatap muka dan secara sembunyi-sembunyi. Selanjutnya, nabi kemudian diperintahkan untuk berdakwah secara terbuka. Pada masa khilafah, konsep futuhat atau perluasan wilayah menjadi pilihan selain juga pembangunan perpustakaan sebagai sarana pengembangan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan.
Di Indonesia sendiri, Wali Songo — penyebar agama Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa, telah mencontohkan ragam metode dakwah yang variatif dengan menghadirkan unsur kebudayaan dan kearifan lokal masing-masing wilayah seperti penggunaan wayang, panggung sandiwara maupun tari-tarian. Lalu bagaimana konsep dakwah di era media baru saat ini?
NEW MEDIA : AGAMA DALAM RUANG TEKNOLOGI
Ledakan teknologi, khususnya teknologi internet dan informasi saat ini, telah membawa banyak perubahan pada pola-pola kehidupan manusia. Bagaimana manusia berkomunikasi, berinteraksi, hingga pola-pola pengasuhan, tak terkecuali pula dalam beragama.
Herbert Marshall McLuhan, jauh sebelum ini pada tahun 1962 pernah sesumbar soal global village dalam bukunya The Gutternberg Galaxy yang meramalkan akan hadir suatu masa dimana masyarakat akan disatukan oleh perkembangan teknologi. Di masa ini, informasi dapat sangat cepat diakses, sifatnya terbuka, terjadi kesamaan persepsi dari orang-orang tentang suatu hal karena informasi yang diperoleh sama, dimensi jarak dan waktu akan lebur, dan jika dunia ini diibaratkan sebagai sebuah desa, masa itulah yang McLuhan perkirakan dunia akan mewujud sebagai global village.
Ramalan McLuhan mewujud nyata dalam era media-media baru saat ini. Istilah media-media baru (new media) muncul pada awal abad ke 21, dimana engangement masyarakat pada teknologi internet sangat kuat sehingga pemanfaaatan teknologi komunikasi pun kian marak digunakan di seluruh aspek kehidupan manusia modern. Teknologi komunikasi yang dimaksud adalah semisal handphone, komputer atau sambungan internet yang dapat memfasilitasi manusia untuk berkomunikasi dengan interaktif terutama dengan memaksimalkan penggunaan gambar, video dan suara. Dalam perkembangannya, era media baru memunculkan sebuah fenomena baru dalam komunikasi antar manusia dengan munculnya media sosial.
Pertanyaannya, mengapa internet dapat menjadi sosial?
Penjelasan Yalda T. Uhls, psikolog asal Amerika yang menaruh minat pada pengaruh media dan dunia anak, dapat disimak dengan saksama. Uhls meyakini pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk bergaul. Internet hadir dengan menawarkan cara-cara berkomunikasi yang kian cepat tanpa batas. Mark Zuckerberg, si empunya Facebook, juga meyakini bahwasanya manusia memiliki hasrat dasar untuk mengekspresikan diri, dan Facebook yang diinisiasinya menawarkan terpenuhinya kebutuhan ekspresi diri di ruang-ruang digital.
Lalu, bagaimana media-media baru dengan basis teknologi internet hadir untuk memenuhi kebutuhan spiritual seseorang, dalam hal yang lebih besar aktivisme digital, mempengaruhi praktik beragama seseorang?
Teknologi dan agama seringkali menjadi dua hal yang saling berjauhan, tak saling terkait. Perkembangan teknologi seringkali dianggap oleh sebagian pihak sebagai penghambat dan penyebab kelalaian seseorang dalam beribadah. Padahal, kemunculan media-media baru memiliki dampak yang signifikan dalam aktivitas beragama seseorang, jika media-media baru ini dimanfaatkan secara tepat guna.
Sebagai contoh, dalam mesin pencari di internet, hal-hal seperti tata cara ibadah dan hukum-hukum dalam Islam sangat banyak diakses oleh pengguna internet. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan internet mampu secara signifikan membantu meningkatkan tingkat spiritualis seseorang. Melihat hal ini kita menyadari betapa pentingnya keterlibatan agamawan maupun institusi keagamaan untuk menyediakan konten-konten keagamaan di internet.
Dari sudut pandang amaliah, #SedekahRombongan adalah salah satu contoh menarik untuk dikaji. Gerakan sadar zakat – infak sodaqoh ini memanfaatkan perkembangan teknologi dan media-media sosial. Pada mulanya, sang inisiator, Sugiharto, melihat keuntungan media-media sosial (saat itu BBM Messenger) yang sifatnya mudah menyebar virality, sehingga tujuan penggalangan zakat dan sedekah yang dimulakan untuk membantu korban bencana erupsi Merapi saat tahun 2006, dapat cepat tercapai. Korban dapat segera dibantu. Saat ini, gerakan dengan tagline menyampaikan titipan dari langit tanpa perlu rumit, sulit dan berbelit, ini masih setia memanfaatkan kemudahan dan kemurahan media-media baru untuk tetap membangun kesadaran masyarakat dalam menginfakkan sebagian penghasilannya ke jalan Allah. Pun pengelolaan dana zakat, infak, sedekah yang digadang-gadang oleh gerakan ini bersifat transparan, karena era media-media baru saat ini ini menuntut keterbukaan informasi sebagai sebuah keniscayaan.
IJTIHAD KOLEKTIF SANTRI DIGITAL
Dua dekade lalu, saat budaya membaca di internet mulai marak, para agamawan baik secara peororangan maupun institusi mulai bergerak untuk meramaikan literasi digital dengan ragam isu keagamaan. Di Indonesia, lahirnya portal berita maupun situs keagamaan semisal NU-Online, konsultasisyariah, islami.co, dream.co dan lainnya menandai mulainya keterlibatan masyarakat dalam dakwah digital. Dalam tubuh NU sendiri, kemunculan NU-Online sangat signifikan bukan hanya bagi mereka yang haus akan berita, tapi juga sebuah ruang baca atau perpustakaan bagi masyarakat yang menginginkan bacaan seputar kajian kegamaan dalam manhaj Ahlusunah. Sejak kelahirannya, NU-Online menjadi referensi wajib warganet Nahdliyin dalam mendapatkan informasi seputar organisasi mereka.
Kemudian lahirlah fenomena sosial media, dimana eksposur masyrakat dalam menggunakan internet semakin tinggi dan usia pengguna internet semakin tanpa batas minimal maupun maksimal. Dalam menggunakan media sosial, masyarakat dimanjakan dengan kecepatan informasi dan kemungkinan untuk secara interaktif melakukan komunikasi instan. Hal ini membuat portal berita atau situs organisasi mengalami tantangan. Tantangan pertama adalah pengguna media sosial secara umum lebih muda ketimbang pengguna platform online lainnya yang kemudian menuntut penyedia informasi untuk menyederhanakan konten agar lebih mudah dicerna oleh pembaca. Kedua, pengguna media sosial menuntut inovasi dalam penyajian informasi, bukan lagi melulu tulisan tapi juga dalam bentuk video, infografis, gambar dan suara. Hal ini tentunya bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
Pada 2016, penulis dan beberapa anak muda lulusan pesantren menginisiasi lahirnya Arus Informasi Santri (AIS Nusantara). Dengan visi digitalisasi dakwah pondok pesantren, berdirinya AIS bertujuan untuk mengisi ruang kekosongan pada medan dakwah sosial media. Konten keagamaan yang AIS tawarkan secara utuh disesuaikan untuk warganet usia muda dibawah 25 tahun. Penyajian informasi pun dibuat lebih variatif dengan menggunakan ragam format yang lebih eye-catching dan modern. Selama setahun, AIS menunjukkan telah mampu berkontribusi dalam menyemerakkan dakwah digital. Sederhananya, AIS menerjemahkan dan mengubah konten yang dibuat oleh NU-Online kedalam bentuk yang lebih sederhana dengan media yang lebih variatif. Saat ini ais memiliki lebih dari 500 anggota yang tersebar di beberapa regional. Dengan banyaknya admin dan akun didalamnya, AIS berupaya untuk mampu menyediakan narasi penyeimbang radikalisme dan pemahaman keagamaan yang ekstrim di media sosial.

LITERASI DIGITAL : STRATEGI MEMENANGKAN DAKWAH DIGITAL
Manfaat, peluang, serta tantangan media-media baru dalam gerakan dakwah di Indonesia seperti yang telah dipaparkan tersebut di atas memunculkan sebuah tekad untuk mengoptimalisasikan ruang-ruang siber bagi kepentingan dakwah. Salah satu yang dapat diupayakan adalah literasi digital. Paul Gilster, yang pertama kali memunculkan istilah literasi digital memaknai literasi digital sebagai “the ability to understand and use information in multiple formats from a wide variety of sources when it is presented via computers”. Literasi digital merupakan kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari beragam sumber yang disajikan.
Peningkatan kualitas dunia digital dalam bidang keagamaan sebaiknya bukan hanya pada penyedia informasi tapi juga pada pembacanya. Terdapat empat kompetensi inti yang mencirikan seseorang cerdas secara digital sebagaimana yang dimaksud Gilster, yaitu pencarian internet, navigasi hypertext, evaluasi konten dan penyusunan pengetahuan.
Kompetensi pencarian di internet (internet searching) adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan mesin pencarian di internet yang disertai dengan pemahaman tentang apa itu internet. Pemahaman seseorang tentang penggunaan mesin pencarian akan mendorong seseorang memanfaatkan internet untuk beraktivitas seperti bergabung dengan grup diskusi, mengelola email, dan menggunakan internet untuk kepentingan hiburan misalnya mendengarkan lagu atau menonton video. Tingkat pemahaman seseorang terhadap internet atau suatu platform media sosial juga akan menjadi dasar pada seseorang tersebut dalam memilah platform tertentu untuk digunakannya baik sebagai ruang ekspresi atau ruang belajarnya. Dalam ranah keagamaan, kemampuan ini sangat membantu warganet dalam memilah informasi sehingga terhindar dari kesesatan ideologis.
Kompetensi selanjutnya dalam literasi digital menurut Gilster adalah kemampuan navigasi hypertextual, dimana seseorang mampu memahami dan mengetahui cara kerja hypertext dan hyperlink serta memahami perbedaan informasi yang tersedia di internet dengan di buku. Untuk memahami cara kerja hypertext dan hyperlink, seseorang tentunya harus memahami terlebih dahulu apakah hypertext dan hyperlink itu. Kemampuan dalam navigasi hypertextual memungkinkan seseorang untuk mencari sumber berita dari berita suatu situs/website. Dengan kata lain, kemampuan teknis ini mendorong seseorang untuk tidak menelan mentah-mentah berita yang disajikan oleh suatu situs, ia akan mencari tautan berita atau referensi yang mendasari berita tersebut. Banyaknya berita bohong atau hoax yang beredar di media sosial saat ini lebih banyak dikarenakan kurangnya kemampuan masyarakat akan kompetensi ini.
Kemampuan evaluasi konten adalah kompetensi yang menandakan seseorang memiliki literasi digital yang baik menurut Gilster. Kemampuan ini diperlukan seseorang dalam menghadapi derasnya informasi digital yang beredar melalui internet. Dengan memiliki kemampuan evaluasi konten, seseorang dituntut untuk lebih kritis terhadap informasi yang diperolehnya melalui internet. Akses tanpa batas dalam penggunaan media sosial membuat informasi yang tersedia di internet menjadi sangat tidak terkontrol. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) misalnya, menyadari betul kesempatan ini dapat mereka gunakan untuk membuat jejaring teror, atau setidaknya menyebarkan teror. Lone-wolf atau pelaku teror yang bergerak sendiri saat ini sangat meresahkan karena mereka bergerak tanpa komando dan melakukannya karena terhasut konten radikal di internet.
Kompetensi inti literasi digital yang terakhir adalam penyusunan pengetahuan yaitu berupa kemampuan seseorang dalam menggunakan kata kunci ketika melakukan pencarian informasi, bergabung dengan grup diskusi di internet untuk memperoleh informasi, memanfaatkan sumber informasi lain selain internet serta cara yang dilakukan dalam menyusun pengetahuan. Kata kunci diperlukan dalam memudahkan seseorang ketika mencari informasi yang dibutuhkannya. Dengan menggunakan kata kunci, pencarian yang dilakukan melalui search engine juga akan lebih spesifik dan relevan dengan informasi yang diperlukan.
Dalam aktivitas dakwah digital, empat kompetensi ini menjadi sangat penting untuk diupayakan agar dimiliki baik oleh penyedia maupun pengakses informasi. Sosialisasi dan pendidikan penggunaan media sosial bagi warganet Nahdliyin harus lebih ditingkatkan lagi. Tugas berat bagi NU-Online, AIS Nusantara, pcinusudan.com dan para conten creator Nahdliyin lainnya belum selesai hanya di tataran menyediakan konten. Penyadaran akan pentingnya literasi digital juga menjadi sebuah hal yang sangat prinsip untuk segera diupayakan.
Dalam dunia digital istilah Izzul Islam wal Muslimin adalah bukan tentang menjadi trending topic di media sosial, tapi lebih dari itu, kemenangan Islam di media digital adalah saat warganet muslim mampu menjadi pembaca yang cerdas dan memiliki kompetensi literasi digital.//(Romzi)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)