MENYOAL PENDIDIKAN TINGGI DI SUDAN
(Membaca Pandangan Prof. Dr. Zakariya Bashir Imam 7 Tahun Silam)
Pendidikan adalah usaha sadar untuk memanusiakan manusia. Namun, hal ini bukan berarti pendidikan hanya untuk manusia, melainkan juga alam seisinya. Apabila manusianya baik, maka alam juga menjadi baik dan begitu sebaliknya. Pendidikan menurut pola pikir ini adalah satu-satunya sarana yang menjaga kemanusiaan dan pondasi kebangkitan umat manusia dalam memakmurkan alam semesta.
Diskursus tentang manusia sebagai variabel utama pendidikan merupakan hal yang paling menarik dan kompleks. Letak daya tarik dan kompleksitasnya ada pada akalnya. Dengan akal yang dimilikinya, manusia memiliki kecerdasan alami yang dapat menghasilkan “kecerdasan buatan”, diantaranya kecerdasan komputer dan teknologi lainnya. Titik alamiah dari kecerdasan manusia ada pada perasaan yang tidak bisa dibuat-buat sebagaimana pada kecerdasan buatan yang didasarkan pada logika angka (teknologi). Kenyataan ini meniscayakan perbedaan antara kecerdasan teknologi dengan kecerdasan pendidikan yang utuh dan terdiri dari kecerdasan pikiran (kognitif), kecerdasan perasaan/intuitif (emosional/spiritual) serta kecerdasan sikap (afektif). Kemudian bagaimana pendidikan dapat mencetak manusia yang cerdas dalam arti seutuhnya ?
Seorang warga Sudan yang peduli dengan masa depan bangsanya, bernama Zakariya Bashir Imam ketika sudah menyelesaikan studi magisternya di Inggris pada tahun 1969, dan studi doktoralnya di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1973, pulang ke kampung halamannya untuk ikut berperan dalam proyek pembangunan bangsa (nation building) di sektor pendidikan tinggi (Dikti). Peran tersebut dia awali dengan menyandang identitas sebagai dosen atau akademisi di University of Khartoum (UK).
Selama menjalankan kiprahnya di dunia akademik, reputasinya semakin meningkat dan kemudian terpilih menjadi anggota Parlemen ke-5 (1982-1985) yang merupakan fase pengesahan UU menurut Syariat Islam. Misi terbesar Prof. Zakariya dengan posisinya tersebut adalah memperbaiki sistem Pendidikan Tinggi (Dikti) melalui legislasi di Sudan. Sebagai tokoh intelektual-akademik, dia banyak melakukan kritik terhadap paradigma pendidikan yang sudah tidak relevan pada masanya, termasuk kurikulum yang digunakan di UK sebagai barometer Dikti di Sudan. Akan tetapi, tidak semua koleganya di kalangan dosen senior menerima kritikannya, bahkan ada yang serta merta mementahkan karena terlanjur meyakini bahwa UK adalah termasuk universitas terbaik dunia. Hal ini dinilai oleh Prof. Zakariya sebagai paradox di dunia civitas akademika yang notabene berisikan orang-orang yang memperjuangkan objektivitas demi kemajuan pendidikan.
Prof. Zakariya menganggap Parlemen sebagai tempat membuat terobosan baru bagi sistem dan UU Dikti di Sudan. Hanya saja, ketika sudah membuat dan telah disahkan, sistem dan UU Dikti tersebut kurang mendapat dukungan sosialisasi dari praktisi maupun pemangku kebijakan sehingga kurang tersampaikan. Prof. Zakariya menyadari bahwa kenyataan tersebut merupakan kegagalan sekaligus ujian bagi misi terbesarnya. Sebagai Guru Besar yang pernah berproses di luar negeri, Prof. Zakariya mengalami “kegalauan” akibat beban tanggung jawab untuk merubah kondisi civitas akademika di Sudan ke arah yang lebih baik dan memiliki daya saing. Menurutnya, harus ada langkah revolusioner yang lebih maju dan lebih cerdas dibanding langkah revolusioner Pemerintahan Sudan yang dikenal dengan “hari penyelematan/inqadz”, artinya hari penyelamatkan negara melalui pengalihan kekuasaan dengan kudeta “militer-islamis”.
Selain itu, langkah revolusionar dimaksud harus bersifat kongkrit. Prof. Zakariya menyebutnya dengan “Revolusi Pendidikan Tinggi”, yang berarti pengajaran yang berkualitas dan pendidikan yang berkarakter. Langkah ini berada di ranah politik adiluhung sebagaimana langkah ormas yang seringkali lebih bernas dan cerdas dibanding negara. Politik adiluhung sudah teruji sejak kaum intelektual kuno sebagaimana upaya Plato dalam membangun sistem pendidikan yang menjadi landasan civil society peradaban Yunani, khususnya kota Athena yang pada masa itu menjadi percontohan bagi kota yang lain.
Beberapa action-plan yang ditawarkan oleh Prof. Zakariya dalam upaya mengokohkan Dikti, yaitu : Rehabilitasi gedung, laboratorium, perpustakaan, ruang pengembangan SDM berbasis teknologi, dan fasilitas kegiatan ekstrakulikuler; Menciptakan lingkungan yang representatif untuk menambah pengetahuan dan pengalaman akademik; Menyediakan fasilitas pembelajaran yang memadai serta dapat mendorong peningkatan kreatifitas dan penelitian; Menyediakan fasilitas yang memadai bagi dosen sebagai bekal pelaksanaan tugas untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya; Melibatkan mahasiswa secara pro-aktif dalam pemanfaatan teknologi pembelajaran yang sudah maju. Pada tahun 2010, Dikti Sudan yang sudah memiliki infastruktur yang layak (The Knowledge Society) hampir mencapai 25 %. Kondisi “tidak layak” seperti ini mempengaruhi intensitas mahasiswa untuk memilih keluar dari kelas dan “nonkrong” di Kafe sambil ngeteh atau ngopi, diselingi perbincangan politik yang seringkali “kurang” memperhatikan kedalaman dan objektivitas.
Selain itu, action-plan yang ditawarkan oleh Prof. Zakariya juga mengatur pembiayaan dan pembekalan pra-mahasiswa. Menurutnya, di abad 21, masuk Perguruan Tinggi (PT) bagi setiap pemuda berusia 15 – 18 tahun hampir menjadi keharusan, tidak hanya di Sudan, melainkan juga di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, jumlah populasi warga yang melanjutkan studi ke tingkat PT mencapai angka 70 % dan angka ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan Sudan. Dengan kondisi Sudan seperti ini, seluruh PT di Sudan dituntut untuk dapat menggali biaya sendiri dan tidak banyak mengandalkan anggaran Pemerintah yang sangat terbatas.
Mind-set PT juga perlu dirubah dari sekedar lembaga pengabdian, menjadi lembaga investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa. Anggaran PT di negara-negara maju lebih dari 25 % dari Gross National Product (GNP). Dalam hal ini, Prof. Zakariya mengutip pernyataan PM Malaysia Mahatir Mohammad di gedung Friendship Hall saat kunjungannya ke Sudan bahwa Malaysia mentargetkan negaranya menjadi negara maju pada tahun 2020 dengan anggaran Dikti lebih dari 25 % dari GNP. Apa yang disampaikan oleh Mahatir tersebut jauh bebeda dengan kenyataan di Sudan yang anggaran Diktinya hanya 1 % dari GNP. Prof. Zakariya membenarkan pertimbangan pemerintah yang memberikan anggaran kecil untuk Dikti, tetapi tidak berarti Dikti harus mendapatkan anggaran sekecil itu sehingga tidak cukup memadai untuk menciptakan daya saing.
Adapun action-plan terakhir yang ditawarkan adalah melakukan modernisasi dan perbaikan kurikulum serta program-program ilmiah-akademik untuk mengikuti laju perkembangan zaman. Lembaga pendidikan, khususnya Dikti sebagai institusi agen perubahan (The Engine of Change) membutuhkan miliaran dollar untuk melakukan perubahan sistem dan infrastruktur. UK yang dikenal masuk daftar PT terbaik di Afrika dan Timur Tengah era tahun 60 dan 70-an abad 20, belum mampu masuk daftar PT terbaik dunia, sedangkan King Saud University (KSU) yang kontributornya banyak dari kalangan dosen senior UK justru mampu bersaing memasuki daftar PT terbaik dunia tersebut.
Dengan rangkaian tawaran tersebut, Prof. Zakariya menyatakan bahwa krisis Dikti merupakan krisis negara sepenuhnya. Hal ini bermula dari kondisi infrastruktur PT, sedikitnya jumlah dosen yang kualifikasinya Doktor dan Guru Besar, serta kurangnya gaji dosen untuk menutupi kebutuhan sehari-hari dan kondisi mayoritas PT yang tidak tersentuh oleh proyek pembangunan nasional sebagaimana yang diproyeksikan oleh Pemerintahan Presiden Al-Bashir. Jajaran PT terbaik di Sudan, terutama UK yang dikatakan telah mengeluarkan banyak insinyur dan dokter, keluaran masih belum mendapatkan bekal praktek yang cukup menurut standar yang ideal. Sampai pada kondisi ini, program pembelajaran dan kurikulum Dikti mengalami kebekuan, sedangkan tuntutan revolusi komunikasi dan informasi terus berkelanjutan sebagaimana hal tersebut mendorong modernisasi kurikulum PT di negara maju di setiap pertiga atau perempat tahun sekali.
Kondisi profesionalitas dan biaya hidup para dosen bisa diukur dengan standart gaji professor yang tidak lebih dari 3.000 SDG (Th. 2011) sehingga menjadikan mereka tidak menetap dalam satu kantor, melainkan berpindah-pindah mengajar di kampus lain, itu pun jika disediakan kantor. Negara dalam kondisi ekonomi yang kurang beruntung ini hanya mengalokasikan anggaran untuk gaji dosen, tidak anggaran yang lain seperti penelitian dan pengembangan infrastruktur. Kondisi memprihatinkan ini membutuhkan penangan capat dari Pemerintah, khususnya Kemendikti Sudan.
Ilmu yang menjadi objek pengembangan Dikti bukanlah ilmu dalam arti sempit yang disebut sains, melainkan ilmu yang mencakup segala deskripsi kehidupan baik kehidupan dunia juga kehidupan akhirat. Ilmu dalam arti ini dapat dijadikan pondasi dalam membangun kualitas manusia sebagai makhluk yang rasional sekaligus spiritual yang dapat diandalkan untuk membangun masyarakat yang religius dan terpelajar. Membangun masyarakat tanpa ilmu bisa diibaratkan membangun rumah diatas “goder”.
Di abad 80-an, dunia barat tersihir oleh pesona sains dan pendalaman tentang “pengetahuan” semakin berkurang kecuali hanya dari kalangan filsuf dan pakar ilmu-ilmu sosial. Istilah “pengetahuan” dalam prespektif Barat kemudian mendapat tempat untuk diartikan lebih luas dari kata “ilmu/sains” yang cenderung pada dunia eksperimen. Hal ini membuat para pakar Dikti memunculkan istilah “masyarakat terpelajar” agar menjadi tipologi baru menghadapi dampak revolusi komunikasi dan “ledakan” informasi. Ciri masyarakat terpelajar adalah memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan potensi akal sebagai sumber daya terpenting dalam menggapai produktivitas, kreativitas dan pembaharuan pola sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Jepang dan Jerman pasca Perang Dunia ke-dua.
Di Barat, kriteria lulusan Dikti dinilai maju adalah menurut sudut pandang sekuler, bukan sudut pandang Islam. Kriteria lulusan yang maju tersebut adalah lulusan yang memiliki jabatan tinggi dengan gaji tinggi, produktif, inovatif, kreatif, memiliki kualitas penelitian yang memberikan kontribusi bagi negara dan masyarakat, memiliki kepedulian untuk mengabdi kepada negara dan masyarakat, termasuk kepedulian untuk mengabdi memerangi kemiskinan, kebodohan dan wabah penyakit. Kriteria tersebut tidak jauh dari pengaruh asas pragmatis dalam pendidikan Barat yang berbeda dengan “kriteria maju” menurut sudut pandang Islam. Lantas bagaimankah “kriteria maju” menurut sudut pandang Prof. Zakariya di Sudan ? bagaimana fenomena Dikti Sudan tahun 2018 (pasca 7 tahun silam) ? // (Ribut)
Bersambung..
Baca juga: Pesantren dan Kepatenan Sistem Pendidikan
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)