Situasi perang melawan kelompok manusia zaman dulu karena situasi politik tidak ubahnya dengan perang melawan pandemi Corona saat ini, sama-sama butuh soliditas dan taat komando. Dalam kitab Nahjul Balaghah yang ditahqiq oleh Syekh Muhammad Abduh, hal 396, di sela-sela rutinitas “diam di rumah” sambil menunggu Corona berakhir akhir Mei-InsyaAllah-menurut prediksi sebagian ahli, saya terpesona dengan surat singkat Sayyidina Ali ra. untuk Abu Musa Al Asy’ari ra. yang keberadaannya sedang menjalani tugas koordinasi persiapan perang Jamal di Kufah dan menghadapi gerakan senyap menggendorkan soliditas para sahabat agar mundur tidak jadi ikut perang. Dalam surat tersebut, tanpa basa basi Sayidina Ali ra. pun berkata:
“Saya sudah mendengar laporan tentang suka duka dirimu saat ini. Saya pun sudah mengirim utusan untuk mu. Jika utusanku sudah sampai disana, singsingkan lengan bajumu, keluarlah dari rumah dan ajaklah siapa saja yang masih bersamamu. Jika kamu berhasil mengumpulkan mereka, majulah berperang. Jika gagal tahanlah. Demi Allah kamu akan diberi kekuatan sejauh ketegaranmu dan engkau tidak akan ditinggal dalam kekalutan. Engkau akan maju tanpa rasa takut meski harus waspada dengan siapa yang ada di depan dan di belakangmu. Apa yang engkau perjuangkan sebenarnya bukan sesuatu yang sepele tetapi sebuah misi besar, yang diharapkan pencapaiannya dan akan dilecehkan kegagalannya meskipun kerasnya pelecehan akan mudah dilalui. Jagalah ketajaman akalmu, selesaikan urusanmu dan ambil jatah serta apa yang menjadi bagianmu. Jika kamu benci melangkah maka kamu akan gagal menyongsong masa depan dan keberhasilanmu. Sikap telitimu sudah cukup menjadi senjatamu meski dirimu sedang dalam keadaan tidur sekalipun. Sistem komando akan berjalan dan bukan lagi waktunya orang bertanya; dimana si Fulan? Demi Allah hak telah sampai pada orang yang berhak menerimanya dan saya tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh para Atheis pembelot. Wassalam“.
Surat ini berbicara krisis kekompakan yang dialami oleh Abu Musa al Asy’ari. Sejarah singkat ini memperlihatkan perlunya membangun soliditas tim untuk mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya sebelum berperang. Selain itu, perlunya seorang pemimpin berempati terhadap bawahannya, tidak hanya dalam ucapan melainkan tindakan awal yang nyata, terutama bagi mereka yang memiliki tugas sosial di saat-saat krisis seperti sekarang ini. Semangat petugas dan relawan harus dijaga, terutama para medis yang menjalani tugas berat mereka dalam menangani pasien Corona. Tidak sedikit ulama dan kiai menyampaikan apresiasi dan terima kasih untuk paramedis dan dokter agar diberi kekuatan dan kesabaran melewati hari-hari mereka bersama pandemi.
Selain virus, perpecahan juga merupakan penyakit menular yang harus dideteksi dini. Perhatian pimpinan dituntut maksimal dalam menjaga keutuhan dan kekompakan di masing-masing tingkatan sebagaimana perhatian Sayidina Ali ra. yang terekam dalam surat. Dalam situasi Corona, respon pemerintah setempat dengan mengambil langkah penutupan jalan atau pemasangan spanduk peringatan di setiap masuk kampung adalah bentuk kekompakan yang harus dilestarikan. Suasana wabah saat ini mengingatkan penting peran monitoring seorang pemimpin di berbagai tingkatan, seperti isyarat dalam surat diatas.
Sikap Sayidina Ali menyapa perasaan Abu Musa al Asy’ari yang sedang kalut lewat surat yang berisi arahan dan dukungan adalah bentuk monitoring pemimpin sejati. Dalam konteks melawan Corona, “diam di rumah” saja tentu baik bagi rakyat biasa, tetapi bagi sang pemimpin yang dibutuhkan tanggung jawabnya kepada negara bukan “diam” yang harus diambil, melainkan “bertugas” di rumah yang harus dilakukan hingga kondisi menjadi membaik.
Baca juga: Apakah Perang Cina – AS Akan Terjadi?
Hal ini bukan suatu kepanikan yang berbahaya bagi kesehatan, melainkan kewaspadaan dalam batasnya yang wajar atas dampak wabah yang setiap hari terus bertambah menurut data resmi Pemerintah. Kesehatan disamping merupakan harta tiada tara bagi manusia yang memonitor dan menambah nikmatnya dengan bersyukur, juga tidak kalah penting merupakan salah satu bidang maqashid syari’ah yang perlu dipertimbangkan dan disikapi berbagai ancamannya, dengan koridor fikih yang jelas dan sesuai dengan nalar pencegahan bukan nalar pengobatan atau penanganan darurat saat pandemi sudah menembus daerahnya. Kebijakan preventif negara maupun fatwa preventif ulama butuh disertai penguatan dan monitoring menurut tingkatannya mulai dari kota hingga ke desa-desa, tentunya oleh pemegang otoritas dan menurut kapasitasnya masing-masing.
Penulis: Ribut Nur Huda (Mustasyar PCINU Sudan)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)