Santri NU dan Fenomena “Instan dalam Menuntut Ilmu”

Tema harlah Nahdlatul Ulama yang ke-95 “Khidmah NU: Menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan” merupakan tema yang menarik sekali karena memang awal mula didirikannya NU adalah menyangkut ke-Aswaja-an sebagai respon pembaharuan (tajdid) Islam dan menggeliatnya paham Wahabi di Arab Saudi.

Aswaja dan NU tidak bisa terpisahkan, sama-sama Asy’ariyah-Maturidiyah dalam aqidah, sama-sama Hanafiyyah-Malikiyah-Syafi’iyyah-Hanbaliyah dalam bidang fiqih, dan sama-sama ulamanya dalam bidang tashawwuf seperti al Ghozaliy-Junaid al Baghdadiy, dan lainnya.

Mengapa Aswaja harus disebarkan?

Selain karena NU didirikan memang untuk itu, juga salah satunya karena ghirah masyarakat sekarang ini untuk belajar agama, namun tidak di pesantren yang kredibel alias belajar agama secara autodidak, bahkan lebih parah lagi ada yang mengambil ilmu agama di majelis yang sebetulnya tidak layak menjadi tempat belajar karena diselingi dengan cacian, doktrin ujaran kebencian terhadap mereka yang berbeda, dan asal berfatwa ini halal, ini haram, ini bid’ah, ini sunnah. Na’udzu billah.

Mereka -karena banyak faktor- belajar agama satu jam, dua jam, bahkan kurang, mencukupkan belajar agama di internet yang kepotong kuota, atau sekedar quotes keagamaan yang bertebaran di grup-grup Whatsapp.

Imam asy Syafi’iy bisa menjadi pakar fikih karena berguru dengan Imam Malik. Asy Syaikh Zakariya al Anshary bisa menjadi pakar fikih, bahkan mendapatkan julukan “Syaikhul Islam” karena belajar dari para gurunya, seperti asy Syaikh Ibnu Hajar al Atsqalaniy (pengarang kitab Fathul Bari fi Syarhi Shahih al Bukhary) dan Sirajuddin al Bulqiny (ulama yang dikatakan sebagai ‘Allamatud Dunya).

Imam Nawawi bisa mengarang Syarhul Muslim yang sangat populer di kalangan pencinta ilmu Hadits karena didikan sang guru, seperti asy Syaikh ‘Abdul Aziz bin Muhammad al Anshary. Imam Jalaluddin as Suyuthiy yang karangannya mencapai 300 buku lebih juga karena jasa para guru, seperti Sirajuddin Al bulqiny. Juga Mbah Hasyim Asy’ariy sang pendiri NU, belajar kepada Mbah Kholil Bangkalan hingga para Ulama Makkah seperti Syeh Rahmatullah bin Khalil Al Hindi, pendiri madrasah Shaulatiyah.

Inilah salah satu keistimewaan Nahdlatul Ulama’, keistemewaan agama islam, ilmunya diwarisi secara turun menurun melalui mata rantai keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Ibarat makanan, mereka yang belajar autodidak ini hanya tinggal santap, tanpa diberi tahu proses memasaknya, bahannya apa saja, diolah seperti apa dan seterusnya. Dalam ilmu Agama proses “memasak hukum” ini dinamakan Ushul Fiqih. Seperti kacang, terserah kita mau mengolahnya menjadi ful, adas, atau pecel, yang penting tidak menghina satu sama lain karena beda rasa. Demikian pula produk hukum fikih, sama-sama dari dalil Al-Qur’an dan Hadits tapi cara penyajiannya yang berbeda.

Meskipun begitu, kita sebagai santri NU tidaklah patut menghina mereka bahkan kita harus menghargai semangat mereka serta sebisa mungkin mengarahkan mereka belajar dan cara belajar agar tidak salah cara memilih guru.

Mengutip perkataan dari K.H. Bahauddin Nursalim (Gus Baha’), “Jika lulusan-lulusan kampus berani mengatakan, ‘Saya ahli hukum, saya ahli kedokteran, saya ahli ekonomi, dsb,’ maka sudah seharusnya kita yang orang pesantren berani bilang, ‘Saya ahli kitab Bukhariy, Fathul Wahab, ahli Ihya’, ahli al Qur’an, dst.’ Supaya umat paham kemana ia harus mencari ilmu agama kepada orang yang tepat.”

Penulis: Muhammad Najmuddin

Baca juga: Harlah NU Ke-95, Pembukaan Acara Selama Dua Pekan

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: