Idris Muhammad Jamma’ lahir di kota Bahri, sebelah utara Khartoum (Ibu kota Sudan), pada 1 Januari 1922, adalah seorang penyair asal Sudan yang mendapat pujian dari generasi-generasi penyair Arab sebab syairnya yang bercorak romantis, nasionalis, dan melankonis yang menyayat hati dan perasaan. Sebagaimana yang tertulis dalam bukunya Dr. Abduh Badawi berjudul “Syair Modern Sudan”. Beliau mendiskripsikan syair dari Idris Jamma’ sebagai syair yang memiliki rasa (sense) makna yang dalam. Jelas bahwa ini merupakan genre baru dalam paradigma syair Sudan.
Baca juga: Simulacra; Robohnya Demokrasi dan Etika dalam Era Digitalisasi
Idris Jamma’ telah mengabdikan hidupnya untuk berkarya dengan untaian kata indah yang membuat dunia Sastra Arab bangga. Beliau memiliki Diwan (kumpulan syair) yang bernama “Lahadzat Baqiyyah”. Karena masalah kesehatan, Diwan tersebut tidak beliau susun sendiri, melainkan oleh teman-teman dan kerabatnya.
Karya-karyanya antara lain: Anti as Sama (Engkau cakrawala), at Thufulah (Masa kecil), Rabi’ al Hubb (cinta yang bersemi), Inna Hadzi (keadaanku), Dlamir lahu Hudud (hati punya batasan), Damii (darahku), dan masih banyak lagi.
Dari biografinya, Idris Jamma’ seperti orang normal pada umumnya, bahkan terdidik dalam jenjang akademik sejak belia. Ia belajar agama di Khalwah Halfaya (seperti pesantren tahfidz) hingga hafal al Qur’an, lalu melanjutkan sekolah dasarnya di daerah yang sama. Kemudian melanjutkan jenjang menengah di Kota Omdurman, namun ia tak melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut karena masalah ekonomi. Ia juga pernah belajar sampai ke Mesir di Universitas Kairo, hingga mendapat predikat Sarjana (Lc.) Sastra Arab dan Studi Islam. Idris Jamma’ lalu mengabdikan diri menjadi seorang pengajar di beberapa sekolah di Sudan sepulang dari Mesir.
Dikutip dari media al Madinah as Sa’udiyyah oleh penulis Yasir Gharib yang menceritakan bahwa Idris Jamma’ diterpa kegagalan dalam cinta. Ia tak mampu menahan hempasan, gelombang, dan badai yang bertubi-tubi menimpanya. Ia seakan-akan kehilangan akalnya, kehilangan tujuan dalam hidupnya, hingga berjalan tak tentu arah. Seperti kehilangan kendali atas dirinya, akhirnya ia harus mendekam di rumah sakit jiwa. Ia gagal dalam urusan cinta, hanya bisa mengagumi, namun tak mampu mendapatkannya. Idris Jamma’, seorang jenius yang seolah-olah hilang akal karena cinta.
Karena sakit jiwanya yang tak kunjung usai, dikisahkan kerabat Idris Jamma’ memutuskan untuk membawanya ke Inggris untuk mencari tempat yang dapat membuatnya tenang, berdamai dengan keadaan dan penyakitnya. Ketika sampai bandara, mata Idris Jamma’ seperti menatap cahaya. Ternyata ia lagi memandangi seorang wanita cantik jelita yang sedang bersama suaminya, matanya tak mampu ia katupkan.
Dengan tatapan yang dalam, ia melayangkan pandangan ke arah wanita tersebut. Melihat hal itu, suami wanita tersebut pun terlihat risih dan berusaha menghalangi tatapan Idris Jamma’ terhadap istrinya. Melihat tingkah suami wanita tersebut, Idris meracau indah, bak mutiara yang keluar dari kerangnya, keluar kalimat-kalimat seorang pujangga yang belum selesai dari kisah cintanya:
أعلى الجمال تغار منا؟ ماذا عليك إذا نظرنا؟
هي نظرة تُنسي الوقارَ وتُسعد الروح المعنّى
دنياي أنت وفـرحــتـي ومـنـى الــفــؤاد إذا تـمـنــى
أنت الـسـمـاء بـدت لـنـا واسـتـعـصـمت بالبعد عنّا
ونــظــرت في عــيـنـيـك آفــاقــًـا وأسـرارًا ومعـنـى
Apakah ada cemburu karena kecantikannya? Apakah aku salah untuk sekedar memandangnya?
Pandangan yang membuatku lupa wibawa. Namun, cukup membuat bahagia jiwa yang merana
Duhai kamu, engkaulah duniaku dan bahagiaku. Obat penawar kalbu tatkala berharap semu
Engkau cakrawala yang menerangiku, namun engkau menjauh dari jangkauanku
Pada kedua bola matamu, ku mampu melihat cakrawala, rahasia, dan makna
Untaian kata penuh makna dari Penyair Sudan ini sontak menyebar ke penjuru Negara-negara Arab. Hingga sampai ke telinga pujangga Mesir, Abbas Mahmud al ‘Aqqad yang bertanya-tanya, “Siapakah yang membuat syair seperti ini?”
Mereka menjawab, “Penyair Sudan yang melantunkan kata-kata tersebut, sedangkan ia tengah menjalani perawatan rumah sakit jiwa,” jawab mereka.
Mendengar jawaban tersebut, Abbas Al-Aqqad berkomentar, “Hal ini memang wajar. Kalimat indah ini tidak mungkin keluar dari orang waras,” komentarnya.
Tidak hanya untaian bait-bait puisi cinta yang mengalir pada wanita yang beliau temui di Bandara, kegilaan Idris Jamma’ membara ketika ia berada di ruangan RSJ di London. Salah seorang suster cantik dengan mata indahnya memeriksa kesehatan Idris. Bisa kita tebak, Penyair Sudan itu pun menatap dalam mata indah suster tersebut. Merasa tidak nyaman, Suster ini pun mengadu pada direktur rumah sakit. Saran direktur pada suster ini, agar ia menggunakan kaca mata hitam ketika kembali memeriksa Idris Jamma’ kembali.
Suster yang berparas cantik itu melaksanakan saran atasannya. Keesokan harinya, ia memakai kaca mata hitam dengan harapan sang pujangga Sudan ini terhalang untuk memandangi mata indahnya. Tetapi yang terjadi, sang pujangga ini tidak berhenti menatap seraya keluar untain indah syair Arab:
وﺍﻟﺴﻴﻒ ﻓﻲ الغمدِ ﻻ ﺗُﺨشَى مضاربُه
ﻭﺳﻴﻒُ ﻋﻴﻨﻴﻚِ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺎﻟﻴﻦ ﺑﺘّﺎﺭُ
Tajamnya pedang yang bersarung, siapa takut akan hunusnya?
Akan tetapi tajamnya matamu (saking indahnya), tertutup atau tidak, sama melukainya.
Suster ini hanya bisa tertegun. Ia tidak memahami apa yang sang pujangga bisikkan. Ia bergegas keluar ruangan lalu bertanya-tanya, apa arti bait puisi yang Idris Jamma lantunkan. Setelah ia tahu makna puisi itu. Ia tak mampu menahan awan mendung air matanya, menetes, kagum dengan rangkaian bait yang indah untuknya tersebut.
Bukan hanya tentang cinta dan kecantikan wanita, syair Idris Jamma’ juga terkenal akan corak melankolisnya yang menyayat hati dan perasaan.
Seperti salah satu syairnya yang berjudul Inna Hadzii ka daqiiq berikut ini:
إن حظي كدقيق فوق شوك نثروه
ثم قـالـوا لحـفـاة يوم ريـح أجمعوه
عَظِم الأمرُ عليهم قلت يا قوم أتركوه
إن من أشقاه ربي، كيف أنتم تسعدوه
Nasibku bagaikan tepung di atas duri-duri yang berceceran yang orang-orang sebar
Lalu mereka berujar kepada kami, si miskin yang kakinya tak beralaskan apa-apa, “kumpulkan tepung yang berserakan itu!”
Kami tak kuasa, lalu ku berkata, “Ya sudah, kita terima saja”.
Orang yang Tuhan takdirkan sengsara, bagaimana ia bisa bahagia?
Idris Jamma’ wafat pada tahun 1980 M. setelah penderitaan yang bertubi-tubi menimpa jiwanya. Beliau wafat di salah satu Rumah Sakit Kota Bahri yang sebelumnya juga pernah dirawat sampai ke Lebanon, namun tidak kunjung membaik sepulangnya ke Sudan.
Penulis: Muhammad Najmuddin
Baca juga: Kesalahpahaman dalam Membedakan Nabi dan Rasul
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
4 Responses