Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Masa Sekarang

Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Baca juga Perempuan dan Panggung Publik dalam Islam

Sifat ataupun karakteristik setiap individual itu berbeda. Dalam hal ini, sifat kemaskulinan ataupun kefeminiman itulah yang ada di antara mereka. Gender dapat diartikan juga sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa.

Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Gender sebagai suatu perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari kontruksi sosial budaya yang bersifat dinamis, yang artinya sewaktu-waktu bisa berubah tergantung dengan konstruksi realitasnya.

Menurut Bu Nyai Nur Rofi’ah dalam bukunya Nalar Kritis Muslimah, disinggung pada tuntutan Islam terkait relasi selalu menyasar pada dua pihak. Misalnya anak diminta berbakti, tapi orang tua juga diminta merawat dengan baik. Dalam berinteraksi dengan lawan jenis, semua pihak sama-sama diminta untuk berpakaian yang mencerminkan ketakwaan, yakni pakaian yang sejalan dengan status yang melekat manusia sebagai hanya hamba Allah (tauhid dan iman) dan amanah melekat sebagai khalifah fil ardl yang bertugas mewujudkan kemaslahatan di muka bumi.

Di samping itu, semua pihak juga diminta untuk ghadldlul bashar (mengobrol cara pandang). Menurut Dr. Amrah Kasim, ahli semiotika al-Quran alumnus al-Azhar Kairo, kata bashar tidaklah bermakna mata fisik seperti kata ‘ainun, melainkan kondisi mental saat memandang sesuatu. Ghadldlul bashar dengan demikian bukan penundukan mata, melainkan kontrol atas cara pandang. Melihat dari realita yang ada, banyak perempuan yang terkena pelecehan seksual walaupun sudah berpakaian tertutup. Dalam hal ini, dari salah satu atau kedua belah pihak belum memaknai kata libatsuttaqwa dan ghadldlul bashar yang sesungguhnya yang artinya ini termasuk hal yang penting untuk membangun relasi emosional laki-laki dan perempuan yang bisa menjaga dari aneka pelecehan seksual, sekaligus produktif melahirkan aneka kemaslahatan di muka bumi.

Ada ungkapan yang bagus dari salah satu perempuan hebat di Indonesia dari kalangan anak muda, yaitu Alamanda Shantika, beliau ini adalah CEO and Founder Binar Academy, “Problem is opportunity, yang menjadi challenge justru ketakutan diri kita sendiri. Because your value depends on how we value ourselves”.

Berbicara tentang kepercayaan diri, role model itu sangat penting. Apalagi lingkungan keluarga dan masyarakat sangat berpengaruh terhadap kesetaraan. Bagaimana seorang ayah mendidik anak perempuannya untuk berani, mampu membela diri, dan mampu bertahan hidup di manapun berada tanpa ketergantungan terhadap laki-laki atau orang lain. Itu menunjukan bahwa tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan dalam memerankan kehidupan. Tidak lantas perempuan hanya mengerjakan pekerjaan domestik saja, sedangkan laki-laki yang berperan banyak dalam pekerjaan publik.

Dari satu sisi, perempuan lebih kuat mentalnya dari laki-laki. Karena dia ditempa setiap bulannya dari usia remaja sampai menopause. Laki-laki tidak mendapatkan tempaan itu. Pandangan masyarakat terhadap perempuan yang lahir pada masa lalu akibat tidak terdidiknya perempuan dengan baik. Memberikan prioritas terlalu banyak kepada anak laki-laki. Padahal mestinya diberikan kesempatan yang sama. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya perbedaan pada kodrat yang memang berbeda dan kecenderungan masing-masing. Pemberdayaan perempuan yang paling penting adalah mereka tidak merasa lebih rendah dari laki-laki.

Berbeda hal dengan dimensi yang ada di keluarga. Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama. Cakupan makna “pertama dan utama” tidak hanya dalam dimensi waktu atau kronologis proses terjadinya pendidikan, namun juga dalam dimensi tanggung jawab. Betapapun proses pendidikan telah diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal, secara sosio-historis kehadiran lembaga-lembaga pendidikan profesional itu merupakan pengganti peran atas peran lembaga keluarga sebagai lembaga pendidikan yang utama tadi. Dengan demikian jelas dapat dikatakan lembaga pendidikan profesional itu menerima mandat dari lembaga keluarga untuk menyelenggarakan pendidikan bagi para anggota keluarga.

Dalam era revolusi komunikasi dan informasi sekarang ini sering dipertanyakan, masihkah keluarga menjadi peran pertama dan utama karena sudah banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang mewadahi anaknya untuk berpendidikan. Dalam hal ini, adanya kesalahan pada memaknai kata peran yang sesuai dengan dimensi tanggung jawabnya. Bahwa, adanya lembaga-lembaga tersebut sifatnya hanya membantu tetapi peran orang tua masih tetap ada, dengan mencarikan lembaga yang sesuai dengan harapannya dan tetap bertanggung jawab. Maka dari itu, perlu diketahui terlebih dahulu makna keluarga sebenarnya, agar tidak saling menyalahkan antara satu dengan yang lainnya.

Keluarga yang dimaksud unit terkecil masyarakat, dan yang berfungsi sebagai satuan pendidikan di luar sekolah adalah keluarga sebagaimana dimaksud Rogers sebagai one or more persons living in the same household who are related by birth, marriage, or adoption atau dalam sosiologi Indonesia disebut sebagai lembaga perkawinan atau yang biasa disebut sebagai keluarga inti. Keluarga secara konvensional dinilai sebagai lembaga sosial tertua, terkecil namun terlengkap status dan peran yang ditunaikannya.

Sejarah institusi keluarga terbentuk bersamaan dengan mulai dikenalnya kehidupan bersama laki-laki dan perempuan. Menurut ajaran agama, lembaga keluarga dimulai sejak dinikahkannya Adam dan Hawa di Surga, dan sejak itulah lembaga keluarga itu ada. Lembaga keluarga disebut sebagai lembaga sosial terkecil, karena lembaga keluarga sudah dapat terbentuk hanya oleh dua orang saja, yakni seorang laki-laki dan seorang perempuan melalui perkawinan; atau oleh seorang dewasa dan seorang anak karena kasus adopsi atau karena orang tua yang tidak lengkap. Disebut sebagai lembaga sosial terlengkap fungsinya, karena di dalam lembaga keluarga sekaligus berlangsung fungsi-fungsi sosial dan religius secara terintegratif, mulai dari fungsi fisik (biologis), ekonomi, rekreasi, hukum, sosial, moral, dan religius. Meskipun pada dasarnya hanya terapat dua fungsi dasar lembaga keluarga, yakni sebagai unit lembaga sosial dan sebagai unit lembaga biologi.

Perkawinan sebagaimana aspek hidup lainnya mesti dijalankan sesuai dengan jati diri manusia. Perkawinan bukanlah semata-mata menyatukan dua tubuh dalam ikatan biologis, melainkan juga dua jiwa. Karenanya, tujuan perkawinan adalah ketenangan jiwa (sakinah). Landasan relasi suami-istri pun adalah cinta-kasih (mawaddah wa rahmah).

Suami dan istri mesti mempertimbangkan tiga level etika dalam bertindak. Pertama, boleh atau tidak menurut agama, maka harus halal. Kedua, baik atau tidak, maka harus thayyib. Ketiga, pantas atau tidak, maka harus ma’ruf. Jadi, suami dan istri mesti harus berakhir untuk selalu bisa melakukan tindakan yang halal, thayyib, dan ma’ruf sebagai makhluk yang berakal budi.

Dari kedua aspek yang telah dipaparkan di atas antara gender dan keluarga, peran yang disimpulkan yaitu adanya kesadaran. Dengan adanya kesadaran kritis ketimpangan sosial yang terjadi, promblematika keluarga atau dilema-dilema yang salah pemahamannya dapat dicegah, demi menumbuhkan kemaslhatan yang bersifat universal.

*Tulisan ini bersumber dari diskusi Lingkar Studi Perempuan Sudan Part IV dengan tema: “Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Masa Sekarang” Pemantik 1 : Ustazah. Ainurrohamah, B. S. dan Pemantik 2 : Ustazah. Labudza Adila Zulfa pada Sabtu, 21 Mei 2022

Baca juga Relasi Laki-Laki dan Perempuan; Menabrak Tafsir Teks, Menakar Realitas

One Response

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: