Nusantaraisasi Bahasa Arab; Secercah Harapan dari Afrika Utara

Kaukabul Fushaha sebagai salah satu organ LAKSPESDAM PCINU Sudan di periode kali ini (22/8) berhasil mengadakan Webinar Bahasa Arab yang dinarasumberi oleh Ketua Majma Lughah Arabiyah Sudan; Prof. Bakri Mohamed Al-haj, Pembina Kaukabul Fushoha Sudan, dan Kawakibul Fushoha Mesir. Materi yang disampaikan terkait kiat pengembangan kompetensi bahasa Arab, penyebarannya di masyarakat luas hingga arah nusantaraisasi bahasa Arab.

Baca juga: Kaukabul Fushaha Bersinergi dengan Instansi Bahasa Arab Resmi Sudan

Prof. Bakri menilai Indonesia sebagai negara muslim terbesar dunia memiliki peluang strategis untuk mengawal kebangkitan bahasa Arab. Peran pelajar Indonesia di Afrika dan Timur Tengah sebagaimana girah pelajar Indonesia di Sudan terhadap bahasa Arab yang tinggi perlu diberikan akses, syukur-syukur difasilitasi. Secara tersirat, NU sebagai ormas terbesar dipandang punya wibawa untuk mengawal keberlangsungan bahasa Arab, tentunya dengan semangat multi-kultural yang sangat unik.

Kaukabul Fushoha sebagai bintang yang telah bersinar berpeluang menebarkan sinarnya ke ruang-ruang maya melalui pengajaran, pelatihan  atau kolaborasi virtual; misalnya dengan Mesir seperti yang sudah berjalan. Harapannya, Nusantaraisasi Bahasa Arab sebagaimana dipaparkan dan diimpikan dalam webinar dapat tersosialisasikan secara maksimal. Kaukab juga patut mengapresiasi diri sendiri dengan niat terus berbenah diri, disamping mengambil pelajaran dari sosok Ibnu Hazm (w. 456 H) yang ibarat bintang bersinar dari Maghrib (baca: Spanyol). Ibnu Hazm mengapresiasi diri sendiri dengan puisinya :

أنا الشمس في جو السماء منيرة # ولكن عيبي أن مطلعي الغرب

“Aku adalah matahari, menyinari di hamparan langit # namun celaku sesungguhnya; asal terbitku dari Barat” 

Ibnu Hazm merasa dianggap aneh jika bisa menjadi orang alim lantaran asalnya dari Barat (Maghrib). Konon puisi ini dilantunkan berulangkali oleh ulama Timur ketika merasa heran bahwa ada ulama hadis dari Marakes-Maroko bernama Qadhi Iyyadh (w. 544 H). Puncaknya, mereka mengaku seandainya tidak ada Qadhi Iyyadh, niscaya Maghrib tidak akan dikenal.

Begitu sulitnya Ulama Maghrib memperluas manfaat hanya karena tidak dikenal meskipun sebenarnya pantas untuk terkenal. Termasuk dalam hal ini Sudan yang relatif  tidak populer di Indonesia sebagaimana negara di belahan Arab yang lain. Kaukab yang diartikan sebagai “bintang” (bukan bintang-bintang/kawakib) tidak mustahil suatu saat bertransformasi menjadi “matahari” seperti ungkapan tasybih baligh dalam puisi Ibnu Hazm tersebut.

Bahasa Arab di Nusantara telah berperan sebagai bahasa kultur keagamaan sejak 12 abad lamanya bersamaan masuknya Islam. Di era revolusi industri dan globalisasi saat ini, bahasa Arab perlu bertransformasi sebagai bahasa sosial ekonomi. Artinya bukan lagi sebagai bahasa sakral atau bahkan bahasa yang layak untuk ditinggalkan oleh generasi Z mendatang. Jika pun ada instrumen politik yang mendukung, bahasa Arab bisa diangkat sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Indonesia. Jika demikian, betapa mudahnya Indonesia menjadi konsolidator arab saat terjadi konflik atau menjadi pusat fikih peradaban dunia. 

Para da’i dan aktivis pendidikan bahasa Arab terlebih dahulu perlu menyadari bahwa  menusantarakan bahasa Arab bukan berarti mengarabkan Nusantara. Bahasa Arab tidak perlu dibenturkan dengan Islam Nusantara atau disamakan dengan Arabfobia, Islamfobia dan semacamnya. Image bahasa Arab adalah sulit, pandangan keterampilan bahasa Arab yang tidak sesuai dengan maksud  “bahasa” itu sendiri dan  SDM Guru atau kurikulum yang tidak menempatkan bahasa Arab pada tempatnya merupakan persoalan klasik dan turun temurun di Nusantara hingga saat ini. Wajar jika target pembelajaran bahasa Arab yang semestinya  adalah berbicara bahasa Arab terkesan bias atau disamakan dengan target calon ilmuwan menguasai keilmuan bahasa Arab. Akhirnya, pembelajaran bahasa Arab dipelajari di luar kodratnya yaitu  bahasa suara, kemudian beralih ke objek simbol tulisan. Hal ini diperparah dengan pembelajaran bahasa Arab yang tidak cukup menyenangkan, menumbuhkan rasa kebosanan bahkan keputusasaan meskipun sebenarnya setiap hati begitu merindukan kitab sucinya; Al Qur’an.

Artinya, dunia pendidikan bahasa Arab membutuhkan penyegaran paradigma dan cara pandang terhadap bahasa Arab itu sendiri. Ini jalan keluar dari akar krisis minat yang melanda umat Islam. Krisis ini secara moral menuntut inovasi kurikulum yang sesuai tuntutan sistem standar dan mutu pendidikan Islam tanpa harus terjebak pada sekulerisasi bahasa Arab. Jalinan erat antara bahasa Arab dengan Al Qur an sebagai kitab bahasa Arab pertama dan terbesar sepanjang sejarah harus dijadikan prinsip. Di samping itu, tema tema peran historis global bahasa Arab juga perlu dilibatkan untuk memupuk kesadaran guru guru Al Qur’an bahwa bahasa Arab adalah pondasi peradaban kemanusiaan. 

Seiring tekanan globalisasi dan kapitalisasi ekonomi,  bahasa  Cina, Jepang, Korea atau bahasa lain yang dipakai di Barat nampak lebih memikat warga Indonesia karena kebutuhan kerja dibanding bahasa Arab yang secara kultur keagamaan lebih dulu akrab dengan masyarakat pribumi. Selain itu, Mayoritas Pekerja Migran Indonesia (PMI) di negara negara Arab tergolong memiliki standar komunikasi dan kompetensi internasional yang rendah; unskilled workers

Jamak diketahui bahwa Indonesia sebagai negara muslim terbesar dunia belum dapat mendominasi sektor ekonomi strategis. Diplomasi Islam yang dipakai dengan negara-negara Arab dalam konteks hubungan bilateral maupun multilateral juga belum dapat dirasakan dampaknya, terutama bagi  revitalisasi bahasa Arab di Indonesia dibanding dampak diplomasi ekonomi dalam hubungan Indonesia-Cina yang sudah menukik wilayah bahasa. 

Pengurus Kaukabul Fushaha bersama Ketua Umum Majma Lughah Sudan, Prof. Bakri

Beberapa petinggi lembaga bahasa Arab di negara-negara Arab mengakui peran pengusaha sangat vital dalam memperkuat posisi bahasa Arab, terutama di dunia industri ekonomi dan media sosial. Fenomena proyek pembuatan kamus sejarah bahasa Arab yang ditangani oleh beberapa lembaga Bahasa Arab terhenti akibat faktor pendanaan. Kondisi ini mengingatkan umat Islam agar memperkaya jalur dakwah, tidak hanya tingkat lokal, nasional dan regional, melainkan juga tingkat global yang mutlak membutuhkan bahasa Arab sebagai bahasa  pengantar.

Penulis: Ribut Nur Huda, S.Hum, M.Pd., M.A. (Mustasyar PCINU Sudan dan Musyrif Kaukabul Fushaha)

Baca juga: Kaukab Al-Fushoha; Asyiknya Belajar Bahasa Arab

One Response

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: