Bagi sebagian kalangan, tema ini tampaknya kurang menarik untuk didiskusikan dan dituangkan dalam sebuah tulisan. Kebanyakan orang lebih tertarik untuk menulis dan mendiskusikan tema-tema faktual yang berkaitan dengan isu sosial, politik, dan keagamaan. Namun, bagi pemerhati dan pembelajar bahasa, barangkali coretan ini bisa memberi sedikit “suplemen” untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang bahasa dan budaya, khususnya bahasa dan budaya Arab.
Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa adalah alat ekspresi budaya. Karena dalam setiap bahasa, banyak kata, kalimat, dan ungkapan yang tidak bisa dipahami oleh penutur asing kecuali memahami latar belakang sosiokulturalnya.
Debu dalam bahasa dan budaya Arab
Di antara ungkapan yang menarik perhatian dalam konstruksi budaya adalah ungkapan “تَرِبَتْ يَدَاكَ” pada hadis Nabi tentang kriteria memilih pasangan yang berbunyi:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ [رواه البخاريّ ومسلم].
“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, silsilahnya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung. (H.R Bukhori Muslim)
Tulisan ini tidak akan membahas kriteria wanita yang layak dinikahi berdasarkan hadis tersebut, tetapi hanya fokus membahas ungkapan “تَرِبَتْ يَدَاكَ”, khususnya ditinjau dari aspek bahasa dan budayanya.
Secara semantik, ungkapan tersebut bermakna “لصقتا بالتّراب” (kedua tangan berdebu atau kedua tangan terkena debu). Ahmad Mukhtar Umar dalam kitabnya “Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyah al-Muashiroh” memaknai “تربت يداك” dengan “ أصابه التراب” (terkena debu). Jika diterjemahkan secara literal, maka artinya “maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya tanganmu akan terkena debu.”
Tentu ini bukan terjemah yang dimaksud, karena terjemah yang populer dari ungkapan di atas adalah “niscaya kau akan beruntung atau bahagia”. Terlepas apakah ungkapan tersebut merupakan idiom “ta’bir ishtilahi” atau bukan, tetapi yang jelas, menurut para linguis, ungkapan tersebut bermakna “دعاء له بالخير” (berdoa kebaikan atau keberuntungan untuknya). Bahwa orang yang menikahi wanita atas dasar agama (diharapkan) akan memperoleh kebaikan dan keberuntungan.
Lalu apa korelasi antara debu dan keberuntungan? Mengapa kedua tangan yang terkena debu dimaknai beruntung?
Terjemah secara literal tentu tidak bisa menyibak makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut. Perlu ada jembatan untuk menghubungkan makna pada kata yang dituju. Salah satu jembatan itu adalah budaya. Inilah pentingnya wawasan budaya dalam memahami kata. Bahwa kata seringkali lahir dari konstruksi dan peristiwa budaya.
Dalam budaya Indonesia, debu identik dengan sesuatu yang tidak bernilai. Hal itu terefleksi, misalnya dari lirik lagu grup band Rumor “aku tanpamu bagaikan butiran debu”, lagu ini – dalam hemat saya- menceritakan ketidakberdayaan seseorang tanpa kehadiran sang kekasih. Ia seperti debu yang tak bernilai dan tak berharga.
Namun, berbeda dengan budaya Indonesia, dalam budaya Arab, justru sesuatu yang berkaitan dengan debu ((تراب, meski tidak semua, identik dengan hal positif atau memiliki citra positif. Misalnya, selain kata “تَرِبَتْ يَدَاكَ” yang bermakna “niscaya kau beruntung”, ada juga kata “أبو تراب” yang secara literal bermakna “bapaknya debu/tanah”. Ternyata ungkapan tersebut adalah kuniyah (julukan) bagi Ali bin Abi Thalib r.a., salah satu sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Kemudian kata “تربة” yang masih seakar kata dengan “تراب” bermakna “tempat pemakaman para aulia”. Sedangkan pemakaman bagi orang biasa disebut “maqbaroh”.
Di Timur Tengah, hujan debu (ghubar) sangat didambakan kehadirannya oleh masyarakat setempat karena bisa mendatangkan kesejukan dan mengusir panasnya terik matahari. Meskipun, terkadang hujan debu “ghubar” agak berbahaya karena bisa menutupi pandangan mata.
Citra positif lain dari debu juga terpotret dalam kaidah fikih di mana debu bisa digunakan sebagai pengganti air untuk berwudu jika tidak ada air dan juga bisa digunakan untuk membersihkan najis mughaladah. Sesuai dengan hadis Nabi:
طُهُوْرُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Sucinya wadah salah satu di antara kalian ketika dijilat anjing adalah dengan cara dicuci sebanyak tujuh kali. Salah satunya dicampuri dengan debu” (HR Muslim, Ahmad).
Selain itu, mungkin kita ingat dengan kelompok pemusik muslim sufi yang menamai grupnya dengan “Debu”. kelompok yang anggotanya berasal dari berbagai negara ini pertama kali tampil pada tahun 2001 dan sekarang berbasis di Indonesia. Bisa saja, salah satu sebab penamaan grup musik itu karena adanya unsur sosiologis tentang citra positif dari kata “debu”.
Singkat kata, meski dalam kebudayaan Indonesia debu selalu identik negatif dan tak berharga, namun dalam kebudayaan Arab, debu itu berkonotasi positif dan bercitra mulia.
Air dalam bahasa dan budaya Arab
Dalam teori semantik Arab terdapat diktum yang mengatakan “katsrotu al-asma daalatun ‘ala ‘udzhmati al-musamma” (banyaknya penamaan terhadap suatu kata menunjukkan akan keagungan kata tersebut). Misalnya kata “Muhammad” di mana para ulama mencatat ada 115 nama untuk Muhammad, di antaranya Ahmad, Toha, Yasin, dan yang lainnya. Hal itu menunjukkan keagungan kata Muhammad.
Begitu juga dengan air “الماء”, dalam kamus “Taaj”, kata air memiliki banyak bentuk dan sebutan yang semuanya benar. Hal tersebut menunjukkan superioritas air dalam budaya Arab. Di antara nama lain air “الماء” itu adalah:
ماء، ما، ماه، مويه، مويهة، ماءة، ما، هة، ماة، مي.
Di Timur Tengah, khususnya di Arab Saudi, Mesir, dan Sudan, istilah yang digunakan untuk menyebut air adalah “moyah” مويه bukan “ma’” ماء sebagaimana yang populer di Indonesia atau dalam teks-teks Arab baik klasik atau kontemporer. Awalnya, saya berasumsi bahwa “moyah” adalah bahasa Amiyah (bahasa pasaran) tapi ternyata kata tersebut termasuk bahasa Fusha (baku atau resmi).
Ungkapan-ungkapan yang menggunakan kata “al-ma’” (air) erat kaitannya dengan budaya Arab gurun yang sangat mendambakan dan menghargai setetes air, karena lingkungan alam mereka yang kering kerontang sehingga sesuatu yang langka akan menjadi sangat berharga. Hal itulah yang mungkin menjadi argumentasi histrosis dan antropologis bahwa sesuatu yang berharga dalam budaya Arab selalu identik dengan air.
Misalnya, surga seringkali digambarkan dengan ungkapan-ungkapan metaforis yang berhubungan dengan sungai yang mengalir air di dalamnya “tajrii min tahtihaa al-anhaar”. Begitu juga ketika memuji seseorang digunakan kata “fayyadh” (banjir), “yadaahu ghomaamah” (kedua tangannya adalah awan), atau digunakan kata-kata “bahr” (lautan), “ghaits”, dan “nada” (embun).
Sementara dalam budaya Indonesia, meski penting, air tidak begitu istimewa karena air yang sangat mudah ditemui. Bahkan, bagi sebagian daerah di Indonesia, air menjadi sangat menakutkan, apalagi jika datang dengan volume yang besar sehingga dapat mengakibatkan banjir. Implikasi linguistiknya adalah budaya air yang melimpah di Indonesia tercermin pada pribahasanya. Karena pribahasa adalah produk budaya suatu bangsa.
Misalnya, ketika hendak menerjemahkan pribahasa Indonesia “sedia payung sebelum hujan”, maka akan sulit mencari padanannya dalam bahasa Arab. Karena hujan sangat jarang sekali terjadi di Arab, bahkan berdasarkan pengalaman pribadi, satu tahun hujan hanya turun 2 sampai 4 kali. Jauh berbeda dengan situasi yang terjadi di Indonesia, hujan bisa turun berkali-kali, bahkan di daerah tertentu, hujan hampir turun setiap hari.
Maka padanan pribahasa Arab yang cocok untuk pribahasa “sedia payung sebelum hujan” adalah:
قبل الرماء تملأ الكنائن
yang secara literal bermakna “sebelum memanah isilah wadah dengan anak panah”.
Orang Arab menggunakan kata wadah anak panah dan memanah karena dipengaruhi oleh budaya mereka yang memiliki tradisi berperang menggunakan kedua alat tersebut pada zaman dahulu kala. Sedangkan dalam bahasa Indonesia digunakan kata hujan dan payung karena di Indonesia sering turun hujan. Walaupun secara substansi, kedua pribahasa memiliki makna yang sama, yaitu “bersiap-siap sebelum melakukan sesuatu” hanya saja diungkapkan dengan istilah yang berbeda karena perbedaan latarbelakang sosiokulturalnya.
Atau dalam pribahasa lain ada istilah “sambil menyelam minum air” yang hampir sama maknanya dengan “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”. Kedua pribahasa tersebut juga akan sulit mencari padanannya dalam bahasa Arab karena di Timur Tengah jarang terdapat sungai dan pulau. Sementara di Indonesia banyak sungai dan pulau, maka pribahasa Arab yang mendekati istilah tersebut adalah:
اصطاد عصفورين بحجر واحد
“Berburu dua burung dengan (lemparan) satu batu“
Dalam budaya Arab menggunakan istilah berburu karena tradisi bangsa yang sangat senang dalam berburu. Perbedaan sosiokultural membuat tujuan dengan makna yang sama harus diungkapkan dengan istilah yang berbeda.
Oleh karena itu, menurut Abbas Mahmud Aqqad dalam bukunya “Atsar al-Arab fii Hadharah al-Aurubiyah” menyampaikan jika empat keterampilan berbahasa (mendengar, berbicara, membaca dan menulis) harus ditambah, maka keterampilan bahasa yang kelima adalah keterampilan “budaya” (maharah ats-tsaqofah). Sehingga menjadi keniscayaan bagi pembelajar bahasa asing, selain menjadi “bilingual” (menguasai dua bahasa; bahasa sasaran dan bahasa sumber), ia juga harus menjadi “bikultural” (menguasai dua budaya).
Oleh: Oman Karya Suhada
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
2 Responses
Masya Alloh mantap. Lanjutkan jang