Mengenang 13 Tahun Gus Dur Berpulang, NU Sudan Merajut Doa untuk Sang Guru Bangsa

Haul Gus Dur

Dalam momentum mengenang 13 tahun Gus Dur berpulang, LAKPESDAM NU Sudan menggelar acara “Merajut Doa; Mengenang Sang Guru Bangsa” dengan tema “Tali Kasih Sedulang Rindu, Gus Dur: Sang Penenun Satin Kemanusiaan” di Sobir-Ind Resto & Cafe pada Senin (26/12).

Acara tersebut berlangsung selama tiga jam dan diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat yang berjumlah kurang lebih 70 orang. Acara tersebut menjadi istimewa karena hadirnya Dubes Indonesia untuk Sudan, Bapak Sunarko, mulai dari awal hingga akhir acara di tengah dinginnya cuaca yang mencapai suhu 13° C.

Acara ini diawali dengan pembacaan istighasah yang dipimpin K.H. Moch Hibatullah Zain, B.A (Wakil Syuriyah) kemudian dilanjutkan dengan sambutan oleh Achmad Fauzi selaku Ketua Tanfidziyah, berlanjut dengan sambutan Bapak Sunarko, Dubes RI untuk Sudan.

Dubes RI Bapak Sunarko bercerita momen kedatangan Gus Dur 23 tahun lalu sebagai satu-satunya Presiden RI yang pernah berkunjung ke Sudan. Pada kesempatan itu, Gus Dur memberikan keterangan bahwa perlunya kerja sama pertemuan tingkat menteri antara Indonesia dan Sudan. Itulah pertama kalinya dalam sejarah Timur Tengah dan Afrika mengadakan pertemuan setiap tahun yang diadakan secara bergilir untuk meningkatkan hubungan bilateral. Sejak saat itu hubungan Indonesia dan Sudan mencapai titik hubungan yang luar biasa.

Setelah sambutan berakhir, moderator membuka diskusi dengan memperkenalkan tiga narasumber, yaitu Mbak Safira Mazarina, S.Hum. (Alumnus Universitas Indonesia), Kang Disry Desky Lc. Dipl. (CEO Sobir-Ind Resto & Cafe), dan Kang M. Abdur Rokhim, B.S. (Aktivis Gusdurian Sudan).

Gus Dur Sang Penenun Satin Kemanusiaan; Pendidikan dan Etika Sosial yang Berfondasikan Keadilan

A. Pendidikan Sebagai Fondasi Ulama

Sebagai manusia pada umumnya, Gus Dur juga melewati beberapa fase, salah satunya terkait pendidikan. Pendidikan di sini kita bagi menjadi dua, yakni pendidikan lahiriyah dan bathiniyah, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti kata Ibnu Khaldun “الإنسان ابن بيئته” manusia merupakan anak dari lingkungannya.

Gus Dur muda merupakan sosok yang sangat teoritis. Dia tidak hanya berbicara terkait agama melainkan khazanah intelektual secara keumuman. Dengan pemahaman sebagai ilmu, bukan dogma, sehingga tidak terkungkung dalam satu tradisi. Aspek teoritas lah yang membentuk Gus Dur dalam satu dimensi multidimensional.

Di samping kuat secara lahiriyah, Gus Dur juga kuat secara bathiniyah. Hal ini dapat dilihat dari maqolah Sayyidina Ali yang menjadi salah satu pijakan Gus Dur “من عرف نفسه عرف ربه” barang siapa yang mengetahui dirinya pasti mengetahui Tuhannya.

B. Etika Sosial Sebagai Pilar

Gus dur Membangun peradaban dengan mengedepankan nilai toleransi, amanah, kejujuran, kepedulian, keberanian, kesabaran, kearifam, dan anti kekerasan, serta mengutamakan kemaslahatan yang muhaqqoqoh dengan didasarkan dalam tradisi Islam, yakni dengan apa yang disebut ghoyatul maslahah yang disediakan oleh al maqasid as syari’ah berupa perlindungan atas hak hidup (hifdz al-nafsi), hak beragama (hifdz al-din), hak berpikir (hifdz al-aql), hak kepemilikan (hifdz al-mal), dan hak atas kesucian keturunan (hifdz al-nasl).

C. Keadilan Sebagai Puncak

Dalam menjembatani praksisnya, Gus Dur mempunyai 3 dasar, yaitu syuro (demokrasi), musawah (kesetaraan), dan yang menjadi puncaknya adalah al-‘adalah (keadilan). Maka dari itu, esensi kemanusiaan Gus Dur diperjuangkan atas nama keadilan.

Penulis: Aklilul Huda (Aktivis Lakpesdam NU Sudan)

2 Responses

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: