Bidang Pendidikan PCI Muslimat NU Sudan menyelenggarakan Webinar Keperempuanan Part 1 dengan mengusung tema “Transformasi Peradaban Perempuan”. Kegiatan tersebut diadakan dalam rangka pembukaan kegiatan Women’s Talk dan dilaksanakan secara daring melalui Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung melalui kanal youtube Muslimat NU Sudan, TVNU, dan Fahmina Institute pada Sabtu (14/01).
Baca juga Pengantar Tasawuf; Sejarah, Perkembangan, dan Coraknya
Webinar tersebut dihadiri Prof. Dr. Hj. Sri Mulyati, MA. (Ketua I PPMNU) dan dua narasumber Dr. (H.C) KH. Husein Muhammad (Pendiri Yayasan Fahmina Institute) dan Ibu Nyai Hj. Dra. Maria Ulfa Anshor, M.Si. (Komisioner Komnas Perempuan Tahun 2020-2024).
Webinar berlangsung selama kurang lebih tiga jam dengan dihadiri pengurus Fatayat NU maupun Muslimat NU di berbagai lintas negara dan masyarakat umum dengan berjumlah kurang lebih 100 peserta. Webinar ini terasa meriah karena diisi oleh tokoh-tokoh yang mumpuni dan sesuai tema yang disuguhkan.

Transformasi Peradaban Perempuan
Transformasi berarti perubahan rupa, fungsi, bentuk, atau sifat dari seorang serta tempat yang mempunyai fungsi berkelanjutan. Proses perubahan yang berangsur-angsur ini bisa dilakukan secara personal ataupun kolektif. Adapun peradaban ialah sebagai unsur kebudayaan yang halus, indah, cerdas, beradab, berkemajuan dan kompleks. Jika peradaban ialah suatu perubahan tentu perubahan adalah hal memungkinkan untuk dilakukan.
Menurut Mahmud Syaltout, tabiat manusia antara laki-laki dan perempuan dapat diartikan sama, sebagaimana Allah menempatkannya di tempat yang sama dan sejajar. Secara filosofis laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan karena mereka tercipta dari unsur yang sama, seperti insan (manusia), hayawan (makhluk hidup), dan aqil (berakal). Kemudian akal lah yang membedakan antara manusia dan hewan.
Konstruksi budaya yang menempel pada masyarakat adalah suatu dogma yang dijustifikasi oleh pemahaman agama, padahal al-Quran dan Hadis Nabi telah menjelaskan tentang hak-hak kaum perempuan, hanya saja masih banyak kesalahan dalam menafsirkan teks tersebut. Maka perlu adanya tindakan membaca sekaligus mempelajari kembali teks yang terkait dalam memproteksi hak-hak perempuan.
Pandangan miring yang, seakan-akan, membatasi peran perempuan dan merosotkan kedudukan perempuan disebabkan karena kurangnya ilmu pengetahuan dan kesalahan dalam menafsirkan teks atau naqs ad-din (kurangnya agama) sehingga banyak yang menjadikan agama sebagai alat untuk membenarkan kesalahan tersebut. Oleh karena itu, teks-teks keagamaan harus terus dikaji kemudian diajarkan kepada calon istri dan calon suami muslim hingga keduanya saling mengerti dan kesalahannya dapat diminimalisir.
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)
One Response