“Tidak semua hadis yang shahih wajib diamalkan.” Kaidah ini harus tertancap di setiap kepala penuntut ilmu. Jika tidak, kita akan dipermainkan oleh kelompok sebelah yang getol menyodorkan ayat-ayat al-Quran dan hadis yang menyalahi akidah ahli sunnah karena tidak semua nash al-Quran dan hadis dapat kita telan mentah-mentah. Harus ada tinjauan ulang dari aspek kandungannya.
Namun, sekarang kita akan memfokuskan pembahasan ini pada hadis Nabi. Berbeda dengan al-Quran, hadis merupakan dalil yang dapat dikritik dari segi sanad dan matannya. Sedangkan al-Quran, sebuah ayat tidak bisa disebut al-Quran kecuali lewat jalur yang mutawatir, yaitu informasi yang diriwayatkan oleh orang banyak, yang tidak lagi dimungkinkan adanya kebohongan di dalamnya. Maka sekarang tidak perlu lagi kita kritik al-Quran dari segi sanadnya.
Namun, jika ada ayat yang maknanya terlihat tidak sesuai dengan kaidah umum yang menjadi pedoman, maka kita harus mentakwilnya. Artinya ayat yang mutasyabihat kita selaraskan dengan yang muhkamat karena ayat yang muhkam adalah ashlu-nya.
Adapun hadis, tidak semua yang dianggap hadis sampai pada kita melalui jalur yang mutawaatir. Ada juga hadis yang diriwayatkan segelintir orang yang disebut hadis Ahad yang kekuatannya di bawah hadis Mutawatir. Resiko bahwa hadis ini tidak benar-benar dikatakan oleh Rasulullah jadi lebih tinggi tentunya.
Perbedaan definisi antara ulama ahli hadis dan ushul fikih
Kita perlu memahami dalam pengaplikasian ilmu hadis adalah cara kritik ulama ahli hadis terkadang berbeda dengan ulama ushul fikih. Apa yang dianggap dhoif oleh ahli hadis terkadang dijadikan hujjah oleh ulama ushul fikih. Sebaliknya, terkadang apa yang dianggap shahih oleh ulama ahli hadis justru dibuang begitu saja oleh ahli fikih dan ushul fikih karena tidak memenuhi kriteria diterimanya hadis versi mereka.
Contoh kecilnya adalah hadis syadz. Menurut ahli hadis -meskipun banyak versinya- hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang tsiqoh tapi riwayatnya berbeda dengan riwayat orang yang lebih tsiqoh darinya. Sedangkan menurut ushuliyyin, sebagimana yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Muhammad Salim Abu Ashi, sebuah hadis dicap sebagai hadis syadz ketika kandungannya bertentangan dengan -setidaknya- 6 hal, yaitu: al-Quran, hadis yang mutawatir, realita, qawaid syariah, ijma’, dan akal.
Demi menekankan pemahaman seperti ini kepada khalayak umum, terutama seorang thalibul ilmi, ulama kenamaan dari Maroko, Syekh Abdullah al-Ghumari, membuat satu buku yang khusus merangkum beberapa hadis yang shahih -bahkan sebagian diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Muslim- namun cacat dari segi matannya melalui kacamata ilmu ushul fikih dengan judul al-Fawaidl al-Maqsudah fi Bayan al-Ahaadits asy-Syaadzah al-Mardudah.
Beliau mengatakan bahwa kritik hadis seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman sahabat seperti yang dilakukan Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha pada hadis yang diriwayatkan Sayyidina Umar radliyallahu ‘anh dan putranya Abdullah radliyallahu ‘anhu. tentang diazabnya mayit karena tangisan keluarganya.
Dalam hadis riwayat al-Bukhori dan Muslim, Sayyidina Umar dan putranya Abdullah meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إن الميت يعذب ببكاء أهله عليه
“Sesungguhnya mayit akan diadzab sebab ratapan tangis keluarganya.”
Maka Sayyidah Aisyah membantah hadis tersebut dan berkata:
أما إنه لم يكذب، ولكنه نسي أو أخطأ. إنما مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على يهودية يبكى عليها، فقال (إنهم ليبكون عليها، وإنها لتعذب في قبرها).{صحيح مسلم}
“Bahwa dia (Abdullah bin Umar) mungkin tidak berbohong. Hanya saja ia lupa atau salah (dengar). Sesungguhnya (yang terjadi adalah) Rasulullah berjalan melewati (jenazah) perempuan yahudi yang ditangisi keluarganya seraya berkata: Sungguh mereka telah menangisinya dan ia sungguh telah diadzab di dalam kuburnya.”
Adapun alasan Sayyidah Aisyah menolak hadis ini adalah karena hadis ini -meskipun shahih– kontradiksi dengan ayat:
(ولا تزر وازرة وزر أخرى) الأنعام 164
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. al-An’am: 164)
Maka jika kita amati kembali, meskipun hadis ini muttafaq ‘alaih (diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim) namun karena hadis ini hanya diriwayatkan dua shahabat (Sayyidina Umar dan putranya Abdullah), maka dengan lantang Ibunda Aisyah menolaknya karena hadis ini kontradiksi dengan dalil yang qath’iy, yakni al-Quran. Dalil yang lemah dikalahkan oleh dalil yang lebih kuat.
Kritik terhadap hadis Aina Allah? (di manakah allah?)
Seorang pelajar yang menggeluti ilmu agama pasti tidak asing dengan hadis jariyah, aina Allah? karena salah satu hadis yang menjadi andalan kaum yang mengaku salafi dalam menetapkan bahwasanya Allah bertempat di langit adalah hadis ini.
Hadis ini diriwayatkan Muslim tentang seorang hamba sahaya perempuan yang hendak dimerdekakan lalu ia ditanya oleh Rasulullah, “Di manakah Allah?” Perempuan tersebut menjawab, “Di langit”. Lalu Rasulullah kembali bertanya, “Siapakah aku?”. Ia menjawab, “Engkau utusan Allah”. Maka Rasulpun bersabda, “Merdekakanlah, sesungguhnya ia adalah seorang mukminah”.
Albani memberi komentar mengenai hadis ini di kitabnya, Mukhtashar al-‘Uluw, “Di dalam hadis ini ada dua poin. Pertama, disyariatkannya perkataan seorang muslim: aina Allah? (dimanakah Allah?). Kedua, jawabannya: di langit. Maka barangsiapa yang mengingkari dua hal ini berarti mengingkari Nabi saw.”
Syeikh Abdullah al-Gumari membantah hadis ini dengan empat alasan :
Pertama, hadis ini berseberangan dengan riwayat mutawatir, yakni ketika seseorang ingin masuk Islam, Nabi akan memintanya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika ia mengucapkannya, maka dia telah resmi menjadi seorang mukmin. Hadis ini dapat ditemukan salah satunya di kitab Muwatha’ Imam Malik. Jadi bukannya ditanya di manakah Allah melainkan diperintahkan untuk bersyahadat.
Kedua, dalam hadis Nabi saat beliau ditanya malaikat Jibril tentang rukun iman beliau menjawab:
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الاخر وتؤمن بالقدر خيره وشره (رواه مسلم)
“Iman adalah ketika kamu beriman kepada Allah, malaikatnya, para rasulnya, hari akhir, dan iman kepada qadar atas baik dan buruknya.”
Jadi tidak ada syarat harus mengimani bahwa tuhan itu di langit atau di mana.
Ketiga, dengan meyakini bahwa Allah itu di langit, tidak menetapkan suatu akidah atau menafikan kemusyrikan karena orang-orang musyrik juga meyakini adanya Allah di langit, namun mereka menyekutukannya dengan menyembah tuhan lain di bumi.
Terakhir, mayoritas ulama dalam menyikapi nash yang menyatakan bahwa Allah itu di langit maupun di arsy mereka mentakwilnya dan mengatakan bahwa makna langit di sini adalah tingginya derajat. Bukan tinggi secara fisik.
Perlu diperhatikan juga bahwa setiap teks yang maknanya tidak pasti, alias perlu ditakwil dan ditarik sana-sini, tidak pantas untuk dijadikan rukun iman. Maka riwayat aina Allah? dengan segala kecacatannya jelas tertolak dan tidak bisa dijadikan landasan akidah apa pun.
Kesimpulannya, setiap ada nash yang terdengar kontradiksi dengan kaidah-kaidah yang telah disebutkan tadi, hendaknya kita kaji ulang kembali dan tidak kita amalkan begitu saja.
Syekh Abdullah al-Ghumari sebagai muhaddis yang terkenal ahli di bidang ushul fikih pun berpesan, “Banyak sekali, ahlul ilmi yang mengira bahwa setiap hadis yang shahih (sanadnya) wajib diamalkan secara mutlak. Ini salah. Hadis yang wajib diamalkan itu disyaratkan tidak syadz dan tidak ada yang bertentangan dengannya.”
Inilah pentingnya belajar agama secara menyeluruh. Maka benar apa yang dikatakan Syekh Usamah al-Azhary bahwa orang yang ilmunya setengah-setengah lebih berbahaya daripada orang yang tidak mempunyai ilmu sama sekali.
Wallahu a’lam…
M. Iqbal Marzuqi (Mahasiswa al-Azhar University)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)