Sebagai seorang akademisi yang baik, maka ia tidak akan terlepas dengan syarat definisi, yaitu komprehensif protektif (jami’-mani’). Maka dari itu, sebelum mendefinisikan kata “tasawuf amali”, seyogyanya perlu memahami makna tasawuf terlebih dahulu, kemudian amali dan selanjutnya makna tasawuf amali.
Baca juga Akar Historis Perkembangan Tasawuf
Kata tasawuf secara terminologi memiliki banyak definisi disebabkan setiap sufi memiliki pengalaman spiritualnya masing-masing atau dengan kata lain tasawuf bersifat subjektif. Namun para sufi berusaha untuk mendefinisikannya. Di antaranya adalah Ahmad Zarruq, ia mengatakan tasawuf ialah suatu ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan mengkhususkan hati hanya untuk Allah Subhanahu wa taala. Kemudian Imam Junaid memberikan definisi bahwa tasawuf ialah beretika berlandaskan sunnah dan tidak beretika dengan etika yang tercela.
Adapun kata amali ialah kata yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti perbuatan atau aktivitas. Maka bisa disimpulkan bahwa tasawuf amali adalah tasawuf yang menitik beratkan pada beberapa amalan-amalan spritual baik berupa rutinitas zikir atau ibadah tertentu.
Jika dipahami sekilas, tasawuf amali dan tasawuf akhlaki memiliki kesamaan yaitu sama-sama melakukan amalan spiritual. Namun letak perbedaannya adalah pada penekanan dan penitikberatan aktivitasnya. Sebab tasawuf akhlaki lebih menekankan pada aspek pembinaan mental melalui pengelolaan nafsu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa taala. Sedangkan tasawuf amali lebih menekankan pada pembinaan moral dalam upaya pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa taala. Namun pada dasarnya, tasawuf amali tidak bisa dilepaskan dari tasawuf akhlaki, sebab tasawuf amali merupakan lanjutan dari tasawuf akhlaki tersebut.
Landasan tasawuf amali pada dasarnya sama dengan tasawuf sunni, sebab tasawuf sunni tidak terlepas dengan dua jenis yaitu akhlaki dan amali. Adapun landasan dari pada tasawuf sunni ada yang disepakati dan ada yang masih diperselisihkan akan kehujahannya. Landasan yang disepakati adalah al-Quran dan sunah. Sementara yang diperselisihkan adalah sebagaimana yang dipaparkan oleh yaitu:
a. Ilham Mubasyir dari Allah (Inspirasi ilahiyyah)
b. ar-Ru’ya al-Manamiyyah (Mimpi)
c. Akhbar ar-Rasul fi al-Manam (Arahan Rasulallah dalam mimpi)
d. Istinbat makna bathin dari al-Quran dan sunnah dengan metode kasyf dan ilham.
Stasiun (Maqamat)
Dalam literatur tasawuf Islam, kita tidak asing dengan dua istilah yang cukup populer yaitu maqamat dan ahwal. Dua term ini merupakan suatu maksud akan adanya peningkatan dan posisi spiritual seorang sufi atau salik. Imam Ghazali mengatakan, bahwa para sufi adalah orang yang aksentuasinya pada aspek ahwal bukan aqwal, karena ahwal adalah suatu keistimewaan bagi seorang salik yang sedang menuju Allah Subhanahu wa taala karena ahwal itu merupakan sesutau yang dihasilkan oleh seorang salik setelah lamanya melakukan mujahadah, mukabadah, dan melatih nafsu terhadap hal-hal yang berat serta mengekang nafsu untuk tetap konsisten dalam hal kebaikan.
Imam as-Suhrowardi menjelaskan antara makna maqamat dan ahwal, dengan ungkapannya, bahwa, “Seorang hamba dengan ahwal akan meningkat ke maqam (stasiun), karena ahwal adalah pemberian (mauhibah) yang seorang hamba itu dengannya akan menuju ke maqamat yang lain di mana maqamat ini akan diperoleh dengan adanya mauhibah (pemberian), sebab seorang hamba tidaklah menempati suatu tempat dari maqamat itu melainkan dengan bertambahnya ahwal”. Ungkapan Suhrowardi ini menunjukkan bahwa ahwal memiliki keterkaitan erat dengan maqamat sebab seorang salik akan berpindah dari satu maqamat jika bertambahnya ahwal. Adapun maqamat yang dimaksudkan sebagai berikut:
a. Maqam Taubah
Maqam taubah ini merupakan maqam pertama yang harus dijalani bagi seorang salik karena menurut para sufi, maqam taubah adalah kunci perjalanan menuju Allah. Karena siapa saja yang tidak bertaubat kepada Allah maka dia tidak sah untuk menempuh jalan Allah SWT.
b. Maqam Wara’
Menurut Zahya Ibn Mu’adz, wara’ adalah memahami batasan pengetahuan tanpa mentakwilnya. Sementara al-Harits al-Muhasibi pernah tidak mau menjulurkan tangannya kepada makanan yang terindikasi subhat. Maka wara’ dalam perspektif ini bermakna menghindari hal yang syubhat dan autokritik pada diri di setiap kedipan mata.
c. Maqam Zuhud
Maksud dari pada zuhud adalah seorang itu merasakan ketidakbahagiaan terhadap apa yang dia miliki didunia dan tidak juga merasa sedih terhadap apa yang tidak dimilikinya di dunia. as-Sir as-Saqat yang merupakan guru Imam al-Junaid al-Bagdhadi mengatakan, bahwa Allah Subhanahu wa taala telah mencabut dunia dari para wali-Nya dan menghindarkannya dari dunia bahkan mengeluarkan dunia dari hatinya sebab Allah Subhanahu wa taala tidak meridlai dunia itu untuk mereka.
d. Maqam Faqr
Adalah maqam di mana diperuntukkan bagi hamba-hamba Allah Subhanahu wa taala yang miskin dan ditanamkan pada hati mereka lebih mengutamakan kebahagiaan abadi ketimbang kebahagiaan dunia yang fana.
e. Maqam Sabar
Maqam sabar adalah maqam yang perlu untuk ditanamkan dalam menempuh jalan menuju Allah Subhanahu wa taala, sebab dalam bersuluk akan banyak rintangan yang akan dihadapi oleh seorang salik. Maka dari itu, sabar adalah fondasi penting dalam beribadah. Dzu an-Nun al-Mishri mendefinisikan sabar adalah menghindari pelanggaran dan diam ketika menderita serta tetap menampakkan ketidakbutuhan saat datang masa kefakiran di tengah kehidupan.
Tulisan ini bersumber dari diskusi Lakpesdam “Halaqah Ilmiah: Tasawuf dalam Kajian Amali” pada Senin 13 Februari 2023

Penulis: Jibran Hafidz (aktivis Lakpesdam NU Sudan)
Bagikan ini:
- Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)
- Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru)