Moderasi Bernegara; Maqashid Syariah sebagai Alternatif Menjaga Persatuan dan Kesatuan
Struktur dan
komposisi penduduk Indonesia berdasarkan kelompok suku bangsa menurut Sensus
Penduduk 2010 memperlihatkan Suku Jawa yang berasal dari Pulau Jawa bagian
tengah hingga timur sebagai kelompok suku terbesar dengan populasi sebanyak
85,2 juta jiwa atau sekitar 40,2 persen dari populasi penduduk Indonesia. Suku
Jawa ini sendiri sudah mencakup Suku Osing, Tengger, Samin, Bawean atau Boyan,
Naga, Nagaring, dan suku-suku lainnya. Suku bangsa terbesar kedua adalah Suku
Sunda yang berasal dari Pulau Jawa bagian barat dengan jumlah mencapai 36,7
juta jiwa atau 15,5 persen. Disusul oleh Suku Batak sebagai terbesar ketiga
dengan jumlah mencapai 8,5 juta jiwa atau 3,6 persen yang berasal dari Pulau
Sumatra bagian tengah utara. Suku terbesar keempat adalah Suku asal Sulawesi
selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo. Jumlah terbesar keempat
ini sendiri merupakan gabungan dari 208 jenis suku bangsa Sulawesi. Untuk
terbesar kelima adalah Suku Madura yang berasal dari Pulau Madura di sebelah
timur utara pulau Jawa yang populasinya menyebar cepat di berbagai wilayah
Indonesia hingga mencapai 7,18 juta jiwa atau sekitar 3,03 persen dari populasi
penduduk Indonesia.[2]
Dalam konteks
kepercayaan Indonesia adalah negara terbesar di dunia dalam hal populasi
Muslim. Sensus terakhir pada tahun 2010 melaporkan bahwa lebih dari 87% orang
Indonesia menyatakan diri sebagai Muslim, 9,87% Kristen, 1,69% Hindu, 0,72%
Buddha, sementara 0,56% mempraktikan agama lain. Pemerintah Indonesia secara
resmi mengakui enam agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik Roma, Budha, Hindu,
dan Konfusianisme.[3]
Sedangkan, dalam
konteks kebudayaan, bangsa Indonesia membentuk diri menjadi satu dalam
keragaman. Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa baru yang terdiri dari
berbagai suku bangsa yang semua pada dasarnya adalah pribumi. Artinya, semua
adalah suku-suku bangsa yang, meskipun dahulu kala berimigrasi dari tempat
lain, secara turun-temurun telah tinggal di wilayah geografis Indonesia
sekarang ini, dan merasa bahwa itu adalah tanah airnya. Bangsa baru ini
terbentuk karena suatu kemauan politik untuk menyatukan diri, dan dengan itu
membangun sebuah negara serta membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan
oleh bangsa lain.[4]
Indonesia dengan
keanekaragaman budaya, agama, suku, dan bahasa yang dimilikinya menyadari bahwa
dirinya adalah salah satu bangsa yang memiliki masyarakat multikultural.
Keanekaragaman tersebut menjadi sebuah rahmat tersendiri jika dapat dikelola
dengan baik, bahkan menjadi keunikan dan kekuatan tersendiri. Namun di saat
bersamaan, realitas pluralitas demikian itu juga dapat menjadi tantangan besar jika
tidak disikapi dengan bijak dan arif, bahkan juga dapat menjadi ancaman
perpecahan dan perseteruan yang dapat mengoyak keamanan sosial di kancah
nasional maupun internasional. Sebagaimana dalam kontestasi keberagamaan di
nusantara yang seringkali terjadi gesekan antara kelompok dengan kelompok lain,
yang mana di antaranya disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan dan paradigma
berpikir.
Nilai-Nilai Maqasid Syariah sebagai Modal Moderasi Bernegara di Indonesia
Berpijak pada pemaparan diatas sejatinya moderasi bernegara dapat diraih jika terdapat perhatian secara serius dalam mengimplementasikan moderasi beragama. Hal demikian telah mendorong Kementrian Agama Republik Indonesia pada tahun 2019 merumuskan beberapa indikator moderasi beragama di Indonesia. Indikator- indikator moderasi beragama tersebut, antara lain komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap tradisi lokal. Empat indikator tersebut dituliskan melalui sebuah buku yang diterbitkannya berjudul moderasi beragama. Keempat indikator tersebut diharapkan dapat menjadi tolak ukur untuk mengukur sejauh mana paham maupun sikap sosial beragama bagi seluruh umat beragama di Indonesia menunjukan karakter moderat, yakni tidak ekstrem kiri maupunn kanan. Namun pengarustamaan berbagai nilai moderasi beragama tersebut dalam ranah praktis di masyarakat tidak selamanya disambut hangat, yakni masih ditemukan stigma buruk di sebagian umat Islam yang menilai moderasi beragama merupakan bentuk liberalisasi maupun sekulerisasi paradigma dan sikap keberagaman sehingga berdampak pada sebuah upaya dikotomi ajaran agama dengan kehidupan sosial bernegara.[5] Padahal masyarakat Indonesia memiliki modal sosial budaya maupun agama yang kuat dan sinergis dalam mewujudkan karakter bangsa yang moderat, terlebih nilai-nilai ajaran dalam Islam sebagai salah satu agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, baik yang ditanamkan melalui jalur lembaga pendidikan Islam nonformal seperti pesantren maupun formal seperti madrasah dan lain sebagainya.[6] Pada tulisan ini akan diuraikan dimensi nilai-nilai maqasid shariah yang dapat ditemukan dalam empat indikator moderasi beragama yang dirumuskan oleh Kemenag RI, yaitu:[7]
A.
Dimensi Nilai Hifz Waton dalam
Indikator Komitmen Kebangsaaan
Penting diketahui bahwa sikap
komitmen kebangsaan merupakan bagian dari indikator untuk memahami paradigma,
pola sikap, dan praktik keberagamaan sosial seseorang atas komitmennya dengan
konsensus dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak sampai di sini, sikap
komitmen kebangsaan juga dapat dijadikan sebagai nilai atau indikator dalam
menjadikan individu umat beragama agar dapat memiliki pengejawantahan ajaran
agamanya secara moderat dalam konteks norma kehidupan sosial masyarakat
Indonesia yang ada. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan jika sikap komitmen
kebangsaan dijadikan sebagai bagian dari indikator moderasi beragama bagi seorang
individu dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia.
Hal demikian dikarenakan
mengimplementasikan kewajiban sebagai warga negara sejalan dengan manifestasi
implementasi ajaran agama dalam kehidupan bernegara.[8]
Keberadaan Pancasila di Indonesia juga menjadi pedoman hidup dan cita hukum
dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara maupun beragama.[9] Di
mana pelbagai nilai sosial dan keagamaan yang termuat dalam Pancasila dapat
menjadi basis paradigmatik dalam mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragam
di Indonesia.[10]
Keberadaan sikap komitmen sebagai
bagian indikator moderasi beragama dalam perspektif maqasid shariah dapat
dimaksudkan sebagai manifestasi dari hifz waton (menjaga keselamatan negara).
Pada ranah praksisnya, hifz waton tersebut dapat menjadi paradigma dalam segala
bentuk upaya untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian kehidupan
bernegara di Indonesia. Hal ini dapat diwujudkan melalui paham maupun sikap
umat beragama di Indonesia. Dengan terjaganya kemaslahatan kehidupan bernegera,
maka juga berdampak positif dalam terpeliharanya nilai-nilai maqasid shariah
lainnya bagi umat beragama baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial
dalam kehidupan bernegara. Secara normatif, keberdaaan dimensi hifz waton dalam
indikator komitmen kebangsaan juga paralel dengan sikap nasionalisme Nabi
Ibrahim yang diuraikan dalam al-Qur’an, yakni ia mendoakan negaranya agar
dirahmati dan penduduknya senantiasa diberikan iman dan rezki yang berlimpah.[11]
Dimensi nilai hifz waton dalam
indikator komitmen kebangsaan dapat dikatakan sebagai bentuk perluasan dimensi
kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik. Sebagaimana yang
dikatakan Jasser Auda bahwa untuk menjadikan maqasid sebagai tujuan sekaligus
pendekatan hukum yang tidak bersifat monolitik dan mekanistik, maka penting
adanya perluasan dimensi kemaslahatan yang termuat dalam konsep maqasid klasik
dalam segala tingkatanya. Pada konteks inilah keberadaan nilai hifz waton dapat
dimaksudkan ke dalam klasifikasi Auda yang disebut dengan istilah maqasid am
(umum). Di mana klasifikasi tersebut mengakomodir pelbagai bentuk orientasi
hukum Islam yang dapat ditemukan dalam setiap pembahasan maqasid syariah secara
umum, seperti proteksi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[12]
Pernyataan demikian sebagaimana didasarkan uraian di atas bahwa manifestasi
hifz waton dalam kehidupan bernegara dapat memiliki implikasi kemaslahatan luas
bagi terwujudnya pelbagai tujuan kemaslahatan syariah yang lain.
B.
Dimensi Nilai Hifz ‘Ird dalam
Indikator Anti Radikalisme
Meski tidak dapat dipastikan pelbgai
bentuk radikalisme maupun terorisme bernuansa agama bersumber dari faktor
tunggal, yakni doktrin maupun dogma agama yang menyimpang. Namun jika dilihat
melalui psikologi agama, terdapat istilah orientasi agama ekstrinsik.
Maksudnya, kecenderungan dalam mengeksploitasi ajaran agama untuk kepentingan
subyektif.[13]
Istilah radikalisme sebagai
indikator dalam pembahasan tentang moderasi beragama di Indonesia, yakni paham
maupun sikap (aksi) individu yang memiliki orientasi dalam mengganti sistem
sosial maupun politik di Indonesia melalui pelbagai kekerasan atas nama ajaran
agama. Secara umum, pelbagai bentuk radikalisme atas nama agama mengharapkan
perubahan signifikan secara cepat kendatipun harus bertentangan dengan sistem
sosial maupun norma di suatu tempat (negara).
Pada ranah aksinya, radikalisme juga
sering diidentikan dengan aksi terorisme atas nama agama. Hal ini disebabkan
kelompok radikal juga dapat melakukan pelbagai bentuk dan cara agar
orientasinya terealisasi kendatipun harus meneror atau merugikan pihak lain
yang tidak sejalan. Selain itu, penting untuk dipahami juga bahwa aksi
radikalisme atas nama agama dapat terjadi pada semua pemeluk agama (keyakinan)
apapun, yakni tidak hanya agama tertentu.[14]
Keberadaan anti radikalisme sebagai
bagian indikator moderasi beragama dalam perspektif maqasid syariah dapat
dikategorikan sebagai manifestasi dari hifz ‘ird (menjaga keselamatan,
kehormatan, harga diri manusia). Istilah hifz ird saat ini juga dipahami
menjadi lebih luas, yakni perlindungan harkat martabat dan Hak Asasi Manusia
(HAM). Pada ranah praksisnya, manifestasi hifz ‘irdi dapat sejalan dengan
pelbagai upaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,[15] tidak
terkecuali keselamatan jiwa manusia atau yang dalam istilah maqasid klasik
disebut dengan hifz nafs (keselamatan jiwa). Oleh sebab itu segala bentuk
radikalisme yang berlindung di balik nama agama bertentangan dengan nilai-nilai
maqasid syariah berupa hifz nafs.
Sebagaimana sebelumnya, dimensi
nilai hifz ‘ird dalam indikator anti radikalisme juga merupakan bentuk
perluasan dimensi kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik berupa
hifz nafs. Jika dimasukan dalam klasifikasi Jasser Auda, maka keberadaan
dimensi hifz ird dalam indikator anti radikalisme masuk dalam kategori maqasid
khas (khusus). Pernyataan demikian disebabkan hifz ‘ird dapat diposisikan
sebagai bentuk perluasan orientasi kemaslahatan hukum Islam yang dapat
ditemukan pada cabang dari maqasid khusus, yakni hifz nafs. 39 Dari sini dapat
dikatakan bahwa dimensi hifz ‘ird yang termuat dalam indikator anti radikalisme
dapat menjadi landasan paradigma maupun sikap sosial keberagamaan yang moderat
dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian di tengah kemajemukan umat
beragama di Indonesia.
C.
Dimensi Nilai Hifz Ummah dalam
Indikator Toleransi dan Akomodatif Terhadap Budaya Lokal.
Sikap toleransi menjadi bagian dari
indikator moderasi beragama dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Pengejawantahan
sikap toleransi tersebut meniscayakan paradigma, pola sikap, dan praktik
keberagamaan dalam menghargai sekaligus menerima perbedaan kehidupan sosial
sebagai hukum alam. Atas dasar ini, manifestasi sikap toleransi bagi umat
beragama di Indonesia menjadi elemen yang sangat urgen dalam membangun
kehidupan pluralitas masyarakat yang harmonis. Mengingat demokrasi yang menjadi
sistem politik bangsa Indonesia dapat terwujud ketika antar individu (kelompok)
dapat bersikap toleran dalam merespons kemajemukan yang ada. Melalui sikap
toleransi dalam relasi antar umat beragama juga diharapkan dapat terwujud
ketersediaan sikap salig berdialog, bekerja sama di antara mereka dalam konteks
kehidupan sosial. Sedangkan toleransi intraagama (seagama) diharapkan dapat
merespons secara bijak terhadap pelbgai sekte (aliran) minoritas yang dinilai
menyimpang dari arus utama(besar) dalam komunitas agama tertentu.[16]
Sementara itu, sikap akomodatif
terhadap kebudayaan lokal sebagai bagian indikator moderasi beragama juga
menjadi basis pembentukan karakter keberagamaan individu yang moderat dalam
merespons pluralitas kearifan lokal di Indonesia. Pada konteks inilah, sikap
akomodatif terhadap tradisi lokal diharapkan dapat membentuk paradigma dan
sikap moderasi beragama individu yang ramah terbuka dan toleran dalam merespons
ragam praktik tradisi kearifan lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran
agamanya.[17]
Keberadaan sikap toleransi dan
akomodatif terhadap budaya lokal sebagai bagian indikator moderasi beragama di
Indonesia menunjukan pentingnya sikap untuk menghormati pluralitas kehidupan
sosial yang ada. Hal demikian tidak lain demi terwujudnya kehidupan yang
harmoni dalam bingkai kemajemukan kehidupan sosial maupun beragama dalam
kehidupan bernegara di Indonesia. Dengan kata lain, bukan untuk sekedar
kemaslahatan individu, melainkan untuk kepentingan seluruh umat beragama di
Indonesia. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika sikap toleransi dan akomodatif
terhadap budaya lokal paralel dengan nilai maqasid syariah berupa hifz ummah
(menjaga kemaslahatan umat).
Maksud ummah dalam hifz ummah dapat
mengacu pada arti secara bahasa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
al-Qur’an. Kata ummah mempunyai wilayah cakupan arti yang luas. Pertama, kata
ummah yang disematkan kepada seluruh makhluk tuhan sebagaimana keterangan dalam
firman Allah QS. al-An’am ayat 38. Kedua, kata ummah berarti umat manusia
secara keseluruhan sebagaimana keterangan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah
ayat 213. Ketiga, kata ummah berarti satu komunitas manusia sebagaimana
keterangan dalam firman Allah QS. Al-Anbiya ayat 92.
Untuk mewujudkan kemaslahatan
kehidupan umat beragama yang plural dibutuhkan pelbagai prinsip atau nilai
hidup yang universal, antara lain al-‘adalah (keadilan), tasamuh (toleransi), ta’awun
(tolong menolong). Prinsip universal dalam manifestasi hifz ummah tersebut
dapat kita temukan dalam indikator moderasi beragama di Indonesia yang berupa
sikap toleransi dan akomodatif terhadap kearifan budaya lokal. Manifestasi
nilai maqasid syariah berupa hifz ummah dalam sikap toleransi dan akomodatif
terhadap keragaman budaya lokal Indonesia akan dapat menunjukan ajaran
universal Islam, yakni rahmatan lil alamin (kasih sayang kepada kehidupan alam
semesta).[18]
Terlebih manifestasi sikap tasamuh (toleransi) dalam Islam menjadi hal yang
sangat urgen bagi kehidupan umat bergama dalam merespons kemajemukan ekspresi
sosial keberagamaan.[19]
Tidak hanya itu, keberadaan Pancasila sebagai pedoman kehidupan bernegara di
Indonesia juga memuat pelbagai nilai pendidikan maupun pembentukan karakter
individu umat beragama yang moderat dalam merespons pluralitas kehidupan umat
beragama di Indonesia.[20]
Sebagaimana dimensi nilai hifz waton
dalam indikator komitmen kebangsaan, identifikasi dimensi nilai hifz ummah
dalam indikator toleransi dan akomodatif terhadap budaya lokal merupakan bentuk
perluasan dimensi kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik. Oleh
sebab itu, hifz ummah dalam kedua indikator moderasi beragama tersebut dapat
dimaksudkan ke dalam klasifikasi Auda yang disebut dengan istilah maqasid am
(umum) karena kemaslahatan hukum yang dapat meliputi mengakomodir pelbagai
maqasid shariah secara umum, seperti proteksi agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.[21]
Terlepas dari dimensi nilai-nilai
maqasid syariah dalam empat indikator moderasi beragama sebagaimana di atas,
penting kita sadari bahwa dalam ranah praksisnya, pengarusutamaan moderasi
beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak semudah yang dibayangkan,
melainkan membutuhkan perjuangan seluruh elemen masyarakat maupun pemerintah,
terlebih pentingnya pembentukan karakter individu melalui nilai-nilai agama dan
sosial bangsa yang moderat pada pelbagai instansi pendidikan di Indonesia..[22]
Upaya tersebut juga harus diiringi dengan menjadikannya terintegrasi ke dalam
sistem perencanaan pembangunan Indonesia jangka menengah dan jangka panjang,
agar pelbagai program yang dijalankan mendapat dukungan oleh seluruh masyarakat
Indonesia.[23]
Kesimpulan
Berdasar pada
berbagai uraian diatas tulisan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat dimensi
nilai-nilai maqasid syariah dalam empat indikator moderasi beragama di
Indonesia. Pertama, dimensi nilai hifz waton (menjaga kemaslahatan
negara) dalam indikator sikap komitmen kebangsaan. Hifz waton dapat menjadi
paradigma dalam segala bentuk upaya untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian
kehidupan bernegara di Indonesia. Dengan terjaganya kemaslahatan kehidupan
bernegera, maka juga berdampak positif dalam terpeliharanya nilainilai maqasid
shariah lainnya bagi umat beragama baik sebagai makhluk individu maupun makhluk
sosial. Kedua, dimensi nilai hifz ‘ird (menjaga kemaslahatan kehormatan
dan martabat manusia) dalam indikator anti radikalisme. Manifestasi hifz ‘irdi
dapat sejalan dengan pelbagai upaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, tidak terkecuali keselamatan jiwa manusia (hifz nafs). Ketiga,
dimensi nilai hifz ummah dalam indikator toleransi dan akomodatif terhadap
budaya lokal. Manifestasi hifz ummah dalam sikap toleransi dan akomodatif
terhadap keragaman budaya lokal Indonesia akan dapat menunjukan ajaran
universal Islam, yakni rahmatan lil alamin (kasih sayang kepada kehidupan alam
semesta).
- Abdur Rozaq
- Hadzik Mubarok
- A'azliyansyah F.A.
[1] https://www.indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/keragaman
indonesia, diakses 27 April 2024
[2] https://www.indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/keragaman
indonesia, diakses 27 April 2024
[3] Deviana
Heriyanto, “Indonesia's native faiths and religions”, dalam The Jakarta Post,
diakses dari https://www.thejakartapost.com/academia/2017/11/14/qa-indonesias-native-faiths-and-religions.html,
diakses 27 April 2024.
[4] Edi
Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta:
Rajawali Press, 2007).
[5] Muhammad
Nurkhoiron, “Liberalisasi Sebagai Moderasi Islam dalam Masyarakat Paska
Sekuler,” Mimikri, 6 . 1 (2020), 1
[6] Nunung
Hidayati, Siti Maemunah, Athoillah Islamy, “Nilai Moderasi Beragama dalam
Orientasi Pendidikan Pesantren di Indonesia,”Transformasi : Jurnal Ilmiah
Pendidikan dan Keagamaan, 3.2 (2021),1.
[7] Tim
Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 42-43
[8] Tim
Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 43-44.
[9] Eko
Siswanto, Athoillah Islamy, “Meninjau Ulang Polemik Formalisasi Hukum Islam di
Indonesia Perspektif Demokrasi Pancasila : Analaisis SWOT,” Miyah : Jurnal
Studi Islam, 18.01(2022),26
[10] Amirullah,
Eko Siswanto, Syaiful muhyidin, Athoillah Islamy, “Pancasila dan Kerukunan
Hidup Antar Umat Beragama : Manifestasi Nilai-nilai Pancasila dalam Peran Forum
Kerukunan Antar Umat Beragama Kota Jayapura,” Inovatif, 7.1 (2022),197.
[11] Syamsul
Bachri, Tarmizi, Habibah, “Nasionalisme dalam Perspektif Hukum Maqasid
AlSyariah,” Moderation, 01. 02(2021), 65-66.
[12] Jasser
Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach, 5.
[13] Sekar
Ayu Aryani, “Orientation of religiosity and radicalism: the dynamic of an
exterrorist’s religiosity,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies,
10 2 (2020), 298.
[14] Tim
Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 45-46.
[15] Saibatul
Hamdi, Khabib Musthofa, “Menghadirkan Konsep Hifz Al-Irdi dalam Bermedia
SosialUpaya Menyikapi Asusila Abu-Abu di Youtube,” El Madani:Jurnal Dakwah dan
Komunikasi Islam, 1. 02 (2020),147-149.
[16] Tim
Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 44-45
[17] Tim
Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 46-47.
[18] Syahrial
Dedi, “Perluasan Teori Maqashid Al-Syari’ah: Kaji Ulang Wacana Hifdz Al-‘Ummah
A. Djuzuli,”Al Istinbath : Jurnal Hukum Islam, 1. 1(2016), 52-59.
[19] Ali
Ahmad Yenuri, Athoillah Islamy, Muhammad Aziz, Rachmad Surya Muhandy,
“Paradigma Toleransi Islam dalam Merespons Kemajemukan Hidup di Indonesia
(Studi Analisis Pemikiran KH.Ahmad Shiddiq),”POROS ONIM :Jurnal Sosial
Keagamaan, 2. 2 (2021),141
[20] Donny
Khoirul Azis, Made Saihu , Akmal Rizki Gunawan Hsb, Athoillah Islamy,”Pancasila
Educational Values in Indicators Religious Moderation in Indonesia,” Fitrah :
Jurnal Kajian Ilmuilmu Keislaman, 7. 2 (2021), 229.
[21] Jasser
Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach, 5.
[22] Mohamad
Badrun Zaman, Muhammad Syukri Nawir, Athoillah Islamy, Afina Aninnas,”
Harmonisasi Pendidikan Islam dan Negara : Pengarustamaan Nilai-nilai Pancasila
dalam Orientasi Pendidikan Pesantren di Indonesia,”Jurnal Tarbawi STAI AL
FITHRAH, 10. 2 (2022),139
[23] Tim
Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 44-45
Tambahkan Komentar Baru