Moderasi Bernegara; Maqashid Syariah sebagai Alternatif Menjaga Persatuan dan Kesatuan

Moderasi Bernegara; Maqashid Syariah sebagai Alternatif Menjaga Persatuan dan Kesatuan
Indonesia merpakan negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang dapat diakui pluralitas masyarakatnya. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal di Indonesia. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, secara keseluruhan jumlah suku dan sub suku di Indonesia adalah sebanyak 1331, meskipun pada tahun 2013 jumlah ini berhasil diklasifikasi oleh BPS sendiri, bekerja sama dengan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), menjadi 633 kelompok-kelompok suku besar.[1]

            Struktur dan komposisi penduduk Indonesia berdasarkan kelompok suku bangsa menurut Sensus Penduduk 2010 memperlihatkan Suku Jawa yang berasal dari Pulau Jawa bagian tengah hingga timur sebagai kelompok suku terbesar dengan populasi sebanyak 85,2 juta jiwa atau sekitar 40,2 persen dari populasi penduduk Indonesia. Suku Jawa ini sendiri sudah mencakup Suku Osing, Tengger, Samin, Bawean atau Boyan, Naga, Nagaring, dan suku-suku lainnya. Suku bangsa terbesar kedua adalah Suku Sunda yang berasal dari Pulau Jawa bagian barat dengan jumlah mencapai 36,7 juta jiwa atau 15,5 persen. Disusul oleh Suku Batak sebagai terbesar ketiga dengan jumlah mencapai 8,5 juta jiwa atau 3,6 persen yang berasal dari Pulau Sumatra bagian tengah utara. Suku terbesar keempat adalah Suku asal Sulawesi selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo. Jumlah terbesar keempat ini sendiri merupakan gabungan dari 208 jenis suku bangsa Sulawesi. Untuk terbesar kelima adalah Suku Madura yang berasal dari Pulau Madura di sebelah timur utara pulau Jawa yang populasinya menyebar cepat di berbagai wilayah Indonesia hingga mencapai 7,18 juta jiwa atau sekitar 3,03 persen dari populasi penduduk Indonesia.[2]

            Dalam konteks kepercayaan Indonesia adalah negara terbesar di dunia dalam hal populasi Muslim. Sensus terakhir pada tahun 2010 melaporkan bahwa lebih dari 87% orang Indonesia menyatakan diri sebagai Muslim, 9,87% Kristen, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, sementara 0,56% mempraktikan agama lain. Pemerintah Indonesia secara resmi mengakui enam agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik Roma, Budha, Hindu, dan Konfusianisme.[3]

            Sedangkan, dalam konteks kebudayaan, bangsa Indonesia membentuk diri menjadi satu dalam keragaman. Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa baru yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang semua pada dasarnya adalah pribumi. Artinya, semua adalah suku-suku bangsa yang, meskipun dahulu kala berimigrasi dari tempat lain, secara turun-temurun telah tinggal di wilayah geografis Indonesia sekarang ini, dan merasa bahwa itu adalah tanah airnya. Bangsa baru ini terbentuk karena suatu kemauan politik untuk menyatukan diri, dan dengan itu membangun sebuah negara serta membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan oleh bangsa lain.[4]

            Indonesia dengan keanekaragaman budaya, agama, suku, dan bahasa yang dimilikinya menyadari bahwa dirinya adalah salah satu bangsa yang memiliki masyarakat multikultural. Keanekaragaman tersebut menjadi sebuah rahmat tersendiri jika dapat dikelola dengan baik, bahkan menjadi keunikan dan kekuatan tersendiri. Namun di saat bersamaan, realitas pluralitas demikian itu juga dapat menjadi tantangan besar jika tidak disikapi dengan bijak dan arif, bahkan juga dapat menjadi ancaman perpecahan dan perseteruan yang dapat mengoyak keamanan sosial di kancah nasional maupun internasional. Sebagaimana dalam kontestasi keberagamaan di nusantara yang seringkali terjadi gesekan antara kelompok dengan kelompok lain, yang mana di antaranya disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan dan paradigma berpikir.


Nilai-Nilai Maqasid Syariah sebagai Modal Moderasi Bernegara di Indonesia

            Berpijak pada pemaparan diatas sejatinya moderasi bernegara dapat diraih jika terdapat perhatian secara serius dalam mengimplementasikan moderasi beragama. Hal demikian telah mendorong Kementrian Agama Republik Indonesia pada tahun 2019 merumuskan beberapa indikator moderasi beragama di Indonesia. Indikator- indikator moderasi beragama tersebut, antara lain komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap tradisi lokal. Empat indikator tersebut dituliskan melalui sebuah buku yang diterbitkannya berjudul moderasi beragama. Keempat indikator tersebut diharapkan dapat menjadi tolak ukur untuk mengukur sejauh mana paham maupun sikap sosial beragama bagi seluruh umat beragama di Indonesia menunjukan karakter moderat, yakni tidak ekstrem kiri maupunn kanan. Namun pengarustamaan berbagai nilai moderasi beragama tersebut dalam ranah praktis di masyarakat tidak selamanya disambut hangat, yakni masih ditemukan stigma buruk di sebagian umat Islam yang menilai moderasi beragama merupakan bentuk liberalisasi maupun sekulerisasi paradigma dan sikap keberagaman sehingga berdampak pada sebuah upaya dikotomi ajaran agama dengan kehidupan sosial bernegara.[5] Padahal masyarakat Indonesia memiliki modal sosial budaya maupun agama yang kuat dan sinergis dalam mewujudkan karakter bangsa yang moderat, terlebih nilai-nilai ajaran dalam Islam sebagai salah satu agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, baik yang ditanamkan melalui jalur lembaga pendidikan Islam nonformal seperti pesantren maupun formal seperti madrasah dan lain sebagainya.[6] Pada tulisan ini akan diuraikan dimensi nilai-nilai maqasid shariah yang dapat ditemukan dalam empat indikator moderasi beragama yang dirumuskan oleh Kemenag RI, yaitu:[7]


A.     Dimensi Nilai Hifz Waton dalam Indikator Komitmen Kebangsaaan

            Penting diketahui bahwa sikap komitmen kebangsaan merupakan bagian dari indikator untuk memahami paradigma, pola sikap, dan praktik keberagamaan sosial seseorang atas komitmennya dengan konsensus dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak sampai di sini, sikap komitmen kebangsaan juga dapat dijadikan sebagai nilai atau indikator dalam menjadikan individu umat beragama agar dapat memiliki pengejawantahan ajaran agamanya secara moderat dalam konteks norma kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang ada. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan jika sikap komitmen kebangsaan dijadikan sebagai bagian dari indikator moderasi beragama bagi seorang individu dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia.

            Hal demikian dikarenakan mengimplementasikan kewajiban sebagai warga negara sejalan dengan manifestasi implementasi ajaran agama dalam kehidupan bernegara.[8] Keberadaan Pancasila di Indonesia juga menjadi pedoman hidup dan cita hukum dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara maupun beragama.[9] Di mana pelbagai nilai sosial dan keagamaan yang termuat dalam Pancasila dapat menjadi basis paradigmatik dalam mewujudkan kerukunan hidup antar umat beragam di Indonesia.[10]

            Keberadaan sikap komitmen sebagai bagian indikator moderasi beragama dalam perspektif maqasid shariah dapat dimaksudkan sebagai manifestasi dari hifz waton (menjaga keselamatan negara). Pada ranah praksisnya, hifz waton tersebut dapat menjadi paradigma dalam segala bentuk upaya untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini dapat diwujudkan melalui paham maupun sikap umat beragama di Indonesia. Dengan terjaganya kemaslahatan kehidupan bernegera, maka juga berdampak positif dalam terpeliharanya nilai-nilai maqasid shariah lainnya bagi umat beragama baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial dalam kehidupan bernegara. Secara normatif, keberdaaan dimensi hifz waton dalam indikator komitmen kebangsaan juga paralel dengan sikap nasionalisme Nabi Ibrahim yang diuraikan dalam al-Qur’an, yakni ia mendoakan negaranya agar dirahmati dan penduduknya senantiasa diberikan iman dan rezki yang berlimpah.[11]

            Dimensi nilai hifz waton dalam indikator komitmen kebangsaan dapat dikatakan sebagai bentuk perluasan dimensi kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik. Sebagaimana yang dikatakan Jasser Auda bahwa untuk menjadikan maqasid sebagai tujuan sekaligus pendekatan hukum yang tidak bersifat monolitik dan mekanistik, maka penting adanya perluasan dimensi kemaslahatan yang termuat dalam konsep maqasid klasik dalam segala tingkatanya. Pada konteks inilah keberadaan nilai hifz waton dapat dimaksudkan ke dalam klasifikasi Auda yang disebut dengan istilah maqasid am (umum). Di mana klasifikasi tersebut mengakomodir pelbagai bentuk orientasi hukum Islam yang dapat ditemukan dalam setiap pembahasan maqasid syariah secara umum, seperti proteksi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[12] Pernyataan demikian sebagaimana didasarkan uraian di atas bahwa manifestasi hifz waton dalam kehidupan bernegara dapat memiliki implikasi kemaslahatan luas bagi terwujudnya pelbagai tujuan kemaslahatan syariah yang lain.

 

B.      Dimensi Nilai Hifz ‘Ird dalam Indikator Anti Radikalisme

            Meski tidak dapat dipastikan pelbgai bentuk radikalisme maupun terorisme bernuansa agama bersumber dari faktor tunggal, yakni doktrin maupun dogma agama yang menyimpang. Namun jika dilihat melalui psikologi agama, terdapat istilah orientasi agama ekstrinsik. Maksudnya, kecenderungan dalam mengeksploitasi ajaran agama untuk kepentingan subyektif.[13]

            Istilah radikalisme sebagai indikator dalam pembahasan tentang moderasi beragama di Indonesia, yakni paham maupun sikap (aksi) individu yang memiliki orientasi dalam mengganti sistem sosial maupun politik di Indonesia melalui pelbagai kekerasan atas nama ajaran agama. Secara umum, pelbagai bentuk radikalisme atas nama agama mengharapkan perubahan signifikan secara cepat kendatipun harus bertentangan dengan sistem sosial maupun norma di suatu tempat (negara).

            Pada ranah aksinya, radikalisme juga sering diidentikan dengan aksi terorisme atas nama agama. Hal ini disebabkan kelompok radikal juga dapat melakukan pelbagai bentuk dan cara agar orientasinya terealisasi kendatipun harus meneror atau merugikan pihak lain yang tidak sejalan. Selain itu, penting untuk dipahami juga bahwa aksi radikalisme atas nama agama dapat terjadi pada semua pemeluk agama (keyakinan) apapun, yakni tidak hanya agama tertentu.[14]

            Keberadaan anti radikalisme sebagai bagian indikator moderasi beragama dalam perspektif maqasid syariah dapat dikategorikan sebagai manifestasi dari hifz ‘ird (menjaga keselamatan, kehormatan, harga diri manusia). Istilah hifz ird saat ini juga dipahami menjadi lebih luas, yakni perlindungan harkat martabat dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada ranah praksisnya, manifestasi hifz ‘irdi dapat sejalan dengan pelbagai upaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,[15] tidak terkecuali keselamatan jiwa manusia atau yang dalam istilah maqasid klasik disebut dengan hifz nafs (keselamatan jiwa). Oleh sebab itu segala bentuk radikalisme yang berlindung di balik nama agama bertentangan dengan nilai-nilai maqasid syariah berupa hifz nafs.

            Sebagaimana sebelumnya, dimensi nilai hifz ‘ird dalam indikator anti radikalisme juga merupakan bentuk perluasan dimensi kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik berupa hifz nafs. Jika dimasukan dalam klasifikasi Jasser Auda, maka keberadaan dimensi hifz ird dalam indikator anti radikalisme masuk dalam kategori maqasid khas (khusus). Pernyataan demikian disebabkan hifz ‘ird dapat diposisikan sebagai bentuk perluasan orientasi kemaslahatan hukum Islam yang dapat ditemukan pada cabang dari maqasid khusus, yakni hifz nafs. 39 Dari sini dapat dikatakan bahwa dimensi hifz ‘ird yang termuat dalam indikator anti radikalisme dapat menjadi landasan paradigma maupun sikap sosial keberagamaan yang moderat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian di tengah kemajemukan umat beragama di Indonesia.

 

C.      Dimensi Nilai Hifz Ummah dalam Indikator Toleransi dan Akomodatif Terhadap Budaya Lokal.

            Sikap toleransi menjadi bagian dari indikator moderasi beragama dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Pengejawantahan sikap toleransi tersebut meniscayakan paradigma, pola sikap, dan praktik keberagamaan dalam menghargai sekaligus menerima perbedaan kehidupan sosial sebagai hukum alam. Atas dasar ini, manifestasi sikap toleransi bagi umat beragama di Indonesia menjadi elemen yang sangat urgen dalam membangun kehidupan pluralitas masyarakat yang harmonis. Mengingat demokrasi yang menjadi sistem politik bangsa Indonesia dapat terwujud ketika antar individu (kelompok) dapat bersikap toleran dalam merespons kemajemukan yang ada. Melalui sikap toleransi dalam relasi antar umat beragama juga diharapkan dapat terwujud ketersediaan sikap salig berdialog, bekerja sama di antara mereka dalam konteks kehidupan sosial. Sedangkan toleransi intraagama (seagama) diharapkan dapat merespons secara bijak terhadap pelbgai sekte (aliran) minoritas yang dinilai menyimpang dari arus utama(besar) dalam komunitas agama tertentu.[16]

            Sementara itu, sikap akomodatif terhadap kebudayaan lokal sebagai bagian indikator moderasi beragama juga menjadi basis pembentukan karakter keberagamaan individu yang moderat dalam merespons pluralitas kearifan lokal di Indonesia. Pada konteks inilah, sikap akomodatif terhadap tradisi lokal diharapkan dapat membentuk paradigma dan sikap moderasi beragama individu yang ramah terbuka dan toleran dalam merespons ragam praktik tradisi kearifan lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran agamanya.[17]

            Keberadaan sikap toleransi dan akomodatif terhadap budaya lokal sebagai bagian indikator moderasi beragama di Indonesia menunjukan pentingnya sikap untuk menghormati pluralitas kehidupan sosial yang ada. Hal demikian tidak lain demi terwujudnya kehidupan yang harmoni dalam bingkai kemajemukan kehidupan sosial maupun beragama dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Dengan kata lain, bukan untuk sekedar kemaslahatan individu, melainkan untuk kepentingan seluruh umat beragama di Indonesia. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika sikap toleransi dan akomodatif terhadap budaya lokal paralel dengan nilai maqasid syariah berupa hifz ummah (menjaga kemaslahatan umat).

            Maksud ummah dalam hifz ummah dapat mengacu pada arti secara bahasa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an. Kata ummah mempunyai wilayah cakupan arti yang luas. Pertama, kata ummah yang disematkan kepada seluruh makhluk tuhan sebagaimana keterangan dalam firman Allah QS. al-An’am ayat 38. Kedua, kata ummah berarti umat manusia secara keseluruhan sebagaimana keterangan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 213. Ketiga, kata ummah berarti satu komunitas manusia sebagaimana keterangan dalam firman Allah QS. Al-Anbiya ayat 92.

            Untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan umat beragama yang plural dibutuhkan pelbagai prinsip atau nilai hidup yang universal, antara lain al-‘adalah (keadilan), tasamuh (toleransi), ta’awun (tolong menolong). Prinsip universal dalam manifestasi hifz ummah tersebut dapat kita temukan dalam indikator moderasi beragama di Indonesia yang berupa sikap toleransi dan akomodatif terhadap kearifan budaya lokal. Manifestasi nilai maqasid syariah berupa hifz ummah dalam sikap toleransi dan akomodatif terhadap keragaman budaya lokal Indonesia akan dapat menunjukan ajaran universal Islam, yakni rahmatan lil alamin (kasih sayang kepada kehidupan alam semesta).[18] Terlebih manifestasi sikap tasamuh (toleransi) dalam Islam menjadi hal yang sangat urgen bagi kehidupan umat bergama dalam merespons kemajemukan ekspresi sosial keberagamaan.[19] Tidak hanya itu, keberadaan Pancasila sebagai pedoman kehidupan bernegara di Indonesia juga memuat pelbagai nilai pendidikan maupun pembentukan karakter individu umat beragama yang moderat dalam merespons pluralitas kehidupan umat beragama di Indonesia.[20]

            Sebagaimana dimensi nilai hifz waton dalam indikator komitmen kebangsaan, identifikasi dimensi nilai hifz ummah dalam indikator toleransi dan akomodatif terhadap budaya lokal merupakan bentuk perluasan dimensi kemaslahatan yang termuat dalam nilai maqasid klasik. Oleh sebab itu, hifz ummah dalam kedua indikator moderasi beragama tersebut dapat dimaksudkan ke dalam klasifikasi Auda yang disebut dengan istilah maqasid am (umum) karena kemaslahatan hukum yang dapat meliputi mengakomodir pelbagai maqasid shariah secara umum, seperti proteksi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[21]

            Terlepas dari dimensi nilai-nilai maqasid syariah dalam empat indikator moderasi beragama sebagaimana di atas, penting kita sadari bahwa dalam ranah praksisnya, pengarusutamaan moderasi beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak semudah yang dibayangkan, melainkan membutuhkan perjuangan seluruh elemen masyarakat maupun pemerintah, terlebih pentingnya pembentukan karakter individu melalui nilai-nilai agama dan sosial bangsa yang moderat pada pelbagai instansi pendidikan di Indonesia..[22] Upaya tersebut juga harus diiringi dengan menjadikannya terintegrasi ke dalam sistem perencanaan pembangunan Indonesia jangka menengah dan jangka panjang, agar pelbagai program yang dijalankan mendapat dukungan oleh seluruh masyarakat Indonesia.[23]

 

Kesimpulan

            Berdasar pada berbagai uraian diatas tulisan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat dimensi nilai-nilai maqasid syariah dalam empat indikator moderasi beragama di Indonesia. Pertama, dimensi nilai hifz waton (menjaga kemaslahatan negara) dalam indikator sikap komitmen kebangsaan. Hifz waton dapat menjadi paradigma dalam segala bentuk upaya untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian kehidupan bernegara di Indonesia. Dengan terjaganya kemaslahatan kehidupan bernegera, maka juga berdampak positif dalam terpeliharanya nilainilai maqasid shariah lainnya bagi umat beragama baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Kedua, dimensi nilai hifz ‘ird (menjaga kemaslahatan kehormatan dan martabat manusia) dalam indikator anti radikalisme. Manifestasi hifz ‘irdi dapat sejalan dengan pelbagai upaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tidak terkecuali keselamatan jiwa manusia (hifz nafs). Ketiga, dimensi nilai hifz ummah dalam indikator toleransi dan akomodatif terhadap budaya lokal. Manifestasi hifz ummah dalam sikap toleransi dan akomodatif terhadap keragaman budaya lokal Indonesia akan dapat menunjukan ajaran universal Islam, yakni rahmatan lil alamin (kasih sayang kepada kehidupan alam semesta).

           

Penulis
  • Abdur Rozaq
  • Hadzik Mubarok
  • A'azliyansyah F.A.

[1] https://www.indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/keragaman indonesia, diakses 27 April 2024

[2] https://www.indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/keragaman indonesia, diakses 27 April 2024

[3] Deviana Heriyanto, “Indonesia's native faiths and religions”, dalam The Jakarta Post, diakses dari https://www.thejakartapost.com/academia/2017/11/14/qa-indonesias-native-faiths-and-religions.html, diakses 27 April 2024.

[4] Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007).

[5] Muhammad Nurkhoiron, “Liberalisasi Sebagai Moderasi Islam dalam Masyarakat Paska Sekuler,” Mimikri, 6 . 1 (2020), 1

[6] Nunung Hidayati, Siti Maemunah, Athoillah Islamy, “Nilai Moderasi Beragama dalam Orientasi Pendidikan Pesantren di Indonesia,”Transformasi : Jurnal Ilmiah Pendidikan dan Keagamaan, 3.2 (2021),1.

[7] Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 42-43

[8] Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 43-44.

[9] Eko Siswanto, Athoillah Islamy, “Meninjau Ulang Polemik Formalisasi Hukum Islam di Indonesia Perspektif Demokrasi Pancasila : Analaisis SWOT,” Miyah : Jurnal Studi Islam, 18.01(2022),26

[10] Amirullah, Eko Siswanto, Syaiful muhyidin, Athoillah Islamy, “Pancasila dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama : Manifestasi Nilai-nilai Pancasila dalam Peran Forum Kerukunan Antar Umat Beragama Kota Jayapura,” Inovatif, 7.1 (2022),197.

[11] Syamsul Bachri, Tarmizi, Habibah, “Nasionalisme dalam Perspektif Hukum Maqasid AlSyariah,” Moderation, 01. 02(2021), 65-66.

[12] Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach, 5.

[13] Sekar Ayu Aryani, “Orientation of religiosity and radicalism: the dynamic of an exterrorist’s religiosity,” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 10 2 (2020), 298.

[14] Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 45-46.

[15] Saibatul Hamdi, Khabib Musthofa, “Menghadirkan Konsep Hifz Al-Irdi dalam Bermedia SosialUpaya Menyikapi Asusila Abu-Abu di Youtube,” El Madani:Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, 1. 02 (2020),147-149.

[16] Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 44-45

[17] Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 46-47.

[18] Syahrial Dedi, “Perluasan Teori Maqashid Al-Syari’ah: Kaji Ulang Wacana Hifdz Al-‘Ummah A. Djuzuli,”Al Istinbath : Jurnal Hukum Islam, 1. 1(2016), 52-59.

[19] Ali Ahmad Yenuri, Athoillah Islamy, Muhammad Aziz, Rachmad Surya Muhandy, “Paradigma Toleransi Islam dalam Merespons Kemajemukan Hidup di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran KH.Ahmad Shiddiq),”POROS ONIM :Jurnal Sosial Keagamaan, 2. 2 (2021),141

[20] Donny Khoirul Azis, Made Saihu , Akmal Rizki Gunawan Hsb, Athoillah Islamy,”Pancasila Educational Values in Indicators Religious Moderation in Indonesia,” Fitrah : Jurnal Kajian Ilmuilmu Keislaman, 7. 2 (2021), 229.

[21] Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach, 5.

[22] Mohamad Badrun Zaman, Muhammad Syukri Nawir, Athoillah Islamy, Afina Aninnas,” Harmonisasi Pendidikan Islam dan Negara : Pengarustamaan Nilai-nilai Pancasila dalam Orientasi Pendidikan Pesantren di Indonesia,”Jurnal Tarbawi STAI AL FITHRAH, 10. 2 (2022),139

[23] Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 44-45

Bagikan :

Tambahkan Komentar Baru

 Komentar Anda berhasil dikirim. Terima kasih!   segarkan
Kesalahan: Silakan coba lagi